'Dadi wong ki mbok sing solutip' -- Bu Tejo Tilik
Ada semacam janji yang hanya Ibu  utarkan dalam hatinya. Kelak jika anak Teh Lilis menikah, Ibu  ingin sekali menghadiri bahkan ikut bantu-bantu dalam perayaannya. Hal lumrah yang biasa dilakukan di kampung. Gotong royong antar saudara dan tetangga. Meskipun Ibu  sudah puluhan tahun tinggal jauh dari kampung halamannya. Untuk beberapa hal tertentu, jiwa Ibu  masih bersama mereka. Saudara-saudaranya di kampung.
Saya tidak terlalu paham tautan persaudaraan antara Ibu dan Teh Lilis. Seingat saya, Ibu sangat menyayangi Teh Lilis dan sudah menganggapnya seperti anak Ibu  sendiri. Setiap saya berkunjung ke kampung halaman Ibu.
Bagi saya satu kampung adalah saudara semua. Begitu memasuki jalan kampung, Ibu  akan menunjukkan bahwa rumah ini adalah saudara. Saya harus manggil Uwa. Lima meter dari rumah tadi masih saudara pula. Saya harus manggil Nini. Tunjuk kiri, rumah saudara. Tunjuk kanan begitu pula. Dan seterusnya.Â
Jika dibuatkan diagram pohon. Ranting dan akar akan menjulur kesana-kemari. Bersilangan di sana-sini. Semua umat manusia adalah saudara. Itu tergambar di kampung halaman Ibu.
Pagi itu, setelah Ibu  mendapatkan kabar pernikahan Wina, anak perempuan Teh Lilis satu-satunya. Ibu  langsung menghubungi saya.
"Bi, Wina mau nikah tanggal tilu Rayagung," dengan gembira Ibu  meneruskan kabar gembira dari kampung ke saya.
"Tilu Rayagung mah, hari Jumat atuh ya?" Jawab saya.
"Iya. Katanya hanya akad wungkul. Gak akan ram-ram. Sedang musim begini." Kata Ibu  lagi.
"Sedang musim begini." Ulangnya dengan lirih. Mulai menyadari, bahwa kata-kata sedang musim begini mengandung arti bahwa Ibu pun  tidak bisa menunaikan janjinya. Menghadiri akad nikah anak Teh Lilis.