Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Money

Rizal Ramli "Kepret" Gubernur dan DPR Aceh Soal Dana Otsus

21 April 2018   16:03 Diperbarui: 21 April 2018   16:17 1252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
aceh.tribunnews.com

Menghadapi realitas yang ada, upaya melakukan terobosan pengelolaan dana Otsus pun mulai dilakukan oleh Pemerintah Aceh saat ini, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Nova Iriansyah mengubah pola sistem pengeolaan dan Otsus dari model sentralisasi ke desentralisasi. Gubernur Aceh melimpahkan pengelolaan dana otonomi khusus (otsus) jatah kabupaten/kota sebesar 40 persen atau senilai Rp 32 triliun dari pagunya Rp 8 triliun kepada bupati/wali kota melalui Pembentukan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), PPTK, PPK pembantu dan bendahara pengeluaran pembantu pada SKPK kabupaten/kota masing-masing.

Namun upaya tersebut tidak disetujui oleh Mendagri, melalui Sekretaris Ditjen Bina Keuangan Daerah, Drs Indra Baskoro M.Si, dinyatakan rencana penunjukan Kuasa Pengguna Anggaran, PPTK, PPK, dan bendahara pengeluran pembantu pada SKPD Kabupaten/Kota untuk pengelolaan dana otsus yang dialokasikan pada kegiatan kabupaten/kota tidak diperkenankan, karena tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Sementara para bupati dan wali kota di Aceh menyatakan masih tetap ingin mengelola jatah pembagian dana otonomi khusus (otsus)-nya sebesar 40 persen di daerahnya masing-masing.

Di kalangan DPRA juga terjadi perbedaan pendapat, apalagi APBA 2018 dijalankan dengan Peraturan Gubernur (Pergub) bukan dengan Qanun (Perda). Ketua Fraksi Gerindra PKS di DPRA, Abdurrahman Ahmad (Serambinews.com, Selasa, 17/4/2018) yang mengatakan "Berdasarkan UUPA Pasal 183 ayat 5 disebutkan, penggunaan dana otsus sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilakukan setiap tahun anggaran yang diatur lebih lanjut dalam Qanun Aceh," Artinya, dana otsus hanya bisa digunakan apabila APBA disahkan melalui qanun bukan Pergub. Bahkan DPRA menuding dana Otsus 2018 ilegal dan tidak dapat digunakan oleh satuan kerja pemerintah Aceh (SKPA) karena bertentangan dengan UUPA.

Sampai pada fase ini kelihatannya "konflik" masih saja berlangsung di Aceh, keterlambatan pengesahan APBA 2018 diawali dengan gagalnya kesepakatan antara eksekutif dan legislatif sehingga Gubernur Aceh terpaksa mem-Pergub-kan APBA agar proses pembangunan tidak terhenti karena anggaran. Konflik internal (eksekutif-legislatif) tentu saja merugikan semua pihak, tidak adanya semangat yang sama dalam mencapai visi pembangunan, mengakibatkan hak-hak rakyat Aceh menjadi terabaikan. 

Heru Cahyono (2016) dalam jurnalnya "EVALUASI ATAS PELAKSANAAN OTONOMI KHUSUS ACEH: GAGAL MENYEJAHTERAKAN RAKYAT DAN SARAT KONFLIK INTERNAL" hasil penelitiannya menemukan bahwa Otonomi khusus Aceh diperoleh melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, menindaklanjuti MoU Helsinki 2005 sebagai bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, dan politik di Aceh secara berkelanjutan. 

Akan tetapi, setelah lebih dari enam tahun berlalu kita menyaksikan bagaimana pelaksanaan otonomi khusus kurang berjalan sesuai dengan harapan. Di bidang ekonomi kita menyaksikan, dana otonomi khusus tidak terkelola dengan baik sehingga membuat kesejahteraan masyarakat Aceh secara umum tidak mengalami perbaikan. Ironisnya, peningkatan kesejahteraan justru hanya dinikmati oleh segelintir orang yang dekat dengan lingkaran kekuasaan sehingga menimbulkan fenomena orang-orang kaya baru. 

Di bidang politik, adanya partai lokal tidak mampu meredam potensi konflik yang ada, dan bahkan justru memicu konflik internal baru. Friksi tersebut semakin memperumit dinamika konflik di bumi Aceh. Kegagalan pelaksanaan kekhususan di kedua bidang itu, politik dan ekonomi, pada gilirannya akan mempersulit untuk mengeluarkan Aceh dari "lingkaran setan" konflik sekaligus masalah kemiskinan yang ada.

Garap Potensi Pertanian dan Perikanan

Dalam sisa periode penerimaan dana Otsus, Pemerintah Aceh hendaknya dapat membuat kebijakan pengelolaan dana Otsus ini dengan baik, tepat sasaran dan fokus pada pengembangan sarana dan prasarana yang dapat memberikan stimulus pada perekonomian makro maupun mikro. Rencana Gubernur agar dana Otsus dapat dikelola bersama dengan Bupati/Wali kota merupakan upaya membenahi carut marutnya manajemen pengelolaan dana tersebut. Di sisi lain, Bupati/Wali kota adalah pemilik daerah dan sangat memahami apa yang menjadi kebutuhan masyarakat di wilayahnya. Namun sepertinya keinginan Pemerintah Aceh tidak di akomodir oleh Pemerintah pusat karena perbedaan dasar hukum yang mereka anut.

Terlepas dari pihak mana yang mengelola dana Otsus, rakyat berharap agar setiap program kerja yang dijalankan dapat memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan mereka. Jika dibangun jalan, maka hendaknya adalah jalan yang fungsional, berguna dan bermanfaat secara ekonomi dalam jangka panjang. Bukan bangunan pasar yang dibangun ditengah hutan, gedung sekolah di gunung dan terminal bus di lembah curam. Rakyat sangat menginginkan dana Otsus tersebut mampu memberikan manfaat lebih bagi kehidupan mereka dan generasi mendatang.

Untuk mewujudkan keinginan dan harapan rakyat Aceh bahkan RR mengusulkan agar dana Otsus bisa dimanfaatkan untuk pengembangan ekonomi rakyat. Misalnya pengembangan sektor pertanian dan perikanan. Kemajuan Aceh bisa dicapai jika sektor pertanian dan perikanan dikelola dengan serius bahkan bisa menjadi lumbung pangan nasional, dari sektor pertanian bisa menghasilkan komoditas hortikultura, rempah-rempah, gula dan lainnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun