Dari awal menikmati serial ini, Sakura no Oyakodonburi, saya tidak habis pikir mengapa ada seorang pemilik toko buku sederhana yang dengan senang hati menjadikan toko bukunya sebagai tempat mengisi perut. Mungkin wajar jika hanya tempat singgah, tapi tempat makan bagi tamu yang kelaparan, saya rasa kok tidak.
Terus terang, dari beberapa sisi, apa yang dilakukan Sakura-san agak kurang bisa diterima akal sehat, Setidaknya sebagian orang. Bagaimana Sakura-san bisa dan rela menyediakan oyakodon di toko buku yang lebih cocok disebut sebagai perpustakaan ini. Untuk apa Sakura-san repot-repot menyediakan menu ini buat mereka. Apa Sakura-san yakin mereka benar-benar punya niat yang baik.
Pelu diketahui, mereka yang berkunjung ke toko buku Sakura-san tidak semuanya benar-benar berniat membeli atau minimal membaca buku yang dipajang di toko Sakura-san. Sebagian dari mereka datang karena mereka benar-benar lapar atau memang belum makan. Sebagian dari mereka bahkan kembali ke tempat Sakura-san untuk sekedar menikmati kembali menu Sakura-san.
Pertanyaannya sekarang, memangnya apa sih yang didapat Sakura-san dari kebiasaan menariknya tersebut. Apa alasan Sakura-san dengan senang hati menyediakan itu semua buat mereka.
Bukannya mendapat jawaban, saya justru makin mendapat kesan bahwa jawaban itu tidak lagi penting, setidaknya ketika melihat dan mendengar cerita para pengunjung yang datang. Di salah satu episodenya, saya justru diajak melihat seorang pemuda yang bekerja paruh waktu di pasar swalayan sebelum menyempatkan datang ke toko Sakura-san. Pemuda itu sama sekali tidak malu meminta kelopak-kelopak kubis yang memang tidak digunakan atau pinggiran-pinggiran roti tawar yang memang tidak diperjualbelikan. Semua itu diambilnya untuk makan sehari-hari ia dan adiknya. Kebetulan kakak beradik itu hanya tinggal berdua, dengan seizin pemilik atau pengawas swalayan tentunya.
*oyako donburi,  ayam kuah kaldu dengan kocokan telur, bawang bombay, dan taburan daun bawang