Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa sekitar 80 persen penerimaan negara berasal dari penerimaan pajak. Penerimaan pajak merupakan salah satu instrumen negara dalam membangun infrastruktur dan mewujudkan kesejahteraan nasional. Oleh karena itu, pemerintah bersama masyarakat harus berupaya untuk meningkatkan penerimaan pajak dengan menjalankan fungsinya masing-masing. Pemerintah membuat kebijakan melalui ketentuan UU HPP, sedangkan rakyat mematuhi kebijakan tersebut.
Salah satu implementasi dari ketentuan UU HPP adalah penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 11 persen yang telah berlaku sejak 1 April 2022.
Perubahan tarif 1 persen ini dilakukan sebagai langkah untuk menambah pemasukan penerimaan negara yang optimal dan berkesinambungan guna memperbaiki kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang secara berturut-turut mengalami defisit selama pandemi.
Pelaksanaan perubahan tarif PPN tidak terlepas dari pemulihan keadaan perekonomian Indonesia yang terus membaik selama pandemi. Diketahui pada 2021 ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 3,69 persen dari tahun-tahun sebelumnya, sehingga kenaikan tarif PPN pada 2022 dirasa tepat untuk lebih meningkatkan dan mengejar pertumbuhan ekonomi kedepannya.
Disamping itu, kenaikan tarif PPN pada masa pandemi ternyata diragukan tidak dapat berjalan secara efektif dan menimbulkan pro kontra karena masyarakat beranggapan bahwa kenaikan tarif PPN pastinya akan menaikan harga kebutuhan sehari-hari.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa mometum kenaikan tarif PPN sudah tepat. Selama menghadapi pandemi, Anggaran Pendapatan Negara (APBN) menjadi instrumen utama untuk memulihkan ekonomi, Anggaran Pendapatan Negara (APBN) selalu menjadi pelindung agar ekonomi negara tidak terperosok lebih dalam. Sri Mulyani Indrawati juga menyatakan bahwa tarif PPN di Indonesia masih tergolong rendah yaitu hanya mencapai 10 persen, sedangkan rata-rata tarif PPN secara global adalah 15 persen. Sehingga kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen dapat dikatakan wajar untuk menyesuaikan dengan tarif negara lain.
Tentunya, kenaikan tarif PPN tidak memiliki tujuan untuk memberatkan masyarakat karena implementasi UU HPP sepenuhnya masih mempertahankan fasilitas PPN yang berlaku. Barang atau jasa yang semula tidak tergolong barang kena pajak dan jasa kena pajak, kemudian saat ini menjadi barang kena pajak dan jasa kena pajak menurut UU HPP, maka barang atau jasa tersebut diberikan fasilitas dalam pembebasan PPN.
Jenis barang yang memiliki fasilitas pembebasan PPN adalah uang dan emas batangan untuk kepentingan cadangan devisa negara dan surat berharga, jasa keagamaan, jasa kesenian dan hiburan, jasa perhotelan, jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, jasa penyediaan tempat parkir, jasa boga dan katering, barang kebutuhan pokok, dan lain-lain. Namun, sebagian barang dan jasa yang ditetapkan tidak dikenakan PPN tetap menjadi objek pajak daerah dan retribusi daerah.