Kisah Nepal beberapa hari terakhir menyedot perhatian dunia. Negeri kecil di kaki Himalaya itu mendadak bergolak karena larangan media sosial yang justru menyulut protes besar-besaran anak muda. Lebih dari sekadar soal digital, protes ini juga menyuarakan amarah terhadap praktik lama yang sudah membelenggu: korupsi, nepotisme, dan privilese segelintir elite.
Istilah yang ramai bergema di jalanan Kathmandu adalah "NepoKid". Sebutan sinis untuk anak-anak pejabat, politisi, atau orang berkuasa yang mendapat posisi, fasilitas, dan jalan mulus bukan karena prestasi, tetapi karena nama keluarga. Bagi generasi muda Nepal, istilah ini melambangkan jurang ketidakadilan: sementara jutaan anak muda harus berjuang mencari pekerjaan, para "NepoKid" menikmati kenyamanan kursi empuk dan akses tak terbatas.
Jika menengok ke Indonesia, fenomena serupa tidak terasa asing. Kita pun sering mendengar anak pejabat menduduki jabatan publik, anak artis langsung masuk layar kaca, atau anak konglomerat melanjutkan bisnis keluarga. Istilah "politik dinasti" yang sempat mengemuka, atau perdebatan soal rekam jejak anak muda yang tiba-tiba masuk lingkaran kekuasaan, mengingatkan bahwa "NepoKid" bukan monopoli Nepal.
Bedanya, di Indonesia isu ini jarang sampai menyulut demonstrasi sebesar di Kathmandu. Kritik muncul di media sosial, jadi bahan meme, atau sekadar obrolan publik, tapi belum menjadi gelombang perlawanan masif. Generasi muda Indonesia cenderung lebih memilih menyalurkan ekspresi lewat konten kreatif atau satire, bukan turun ke jalan dengan risiko bentrok.
Namun, ada benang merah yang menarik: baik di Nepal maupun Indonesia, Generasi Z tampil sebagai kelompok yang paling vokal. Mereka lebih peka pada isu keadilan sosial, lebih berani menggugat privilese, dan lebih fasih menggunakan bahasa digital untuk menggaungkan keresahan.
"NepoKid" akhirnya bukan sekadar ejekan. Ia adalah simbol perlawanan terhadap sistem yang dianggap tidak adil. Di Nepal, istilah itu mengguncang parlemen hingga perdana menteri jatuh. Di Indonesia, istilah serupa mungkin belum seheboh itu, tetapi gema kritiknya semakin keras terdengar di dunia maya.
Pertanyaannya: apakah kita akan menunggu sampai keresahan itu memuncak di jalanan, atau mulai serius membicarakan soal meritokrasi, transparansi, dan kesempatan yang setara sejak dini?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI