Mohon tunggu...
ruslan effendi
ruslan effendi Mohon Tunggu... Pengamat APBN dan Korporasi.

Lulusan S3 Akuntansi. Penulis pada International Journal of Public Administration, Frontiers in Built Environment, IntechOpen, Cogent Social Sciences, dan Penulis Buku Pandangan Seorang Akuntan: Penganganggaran Pendidikan Publik Untuk Kualitas Dan Keadilan (Pengantar Prof. Indra Bastian, MBA., Ph.D.)

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Mengenal Clean Surplus Theory

1 Juni 2025   19:37 Diperbarui: 1 Juni 2025   20:42 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gradient-credit-assessment-concept (Ilustrasi)?Image by pikisuperstar on Freepik

Salah satu pertanyaan klasik yang masih terus bergema dalam dunia akuntansi keuangan, adalah: apakah laporan keuangan cukup berguna untuk menilai nilai wajar suatu perusahaan? Menjawab pertanyaan ini, Clean Surplus Theory (CST) hadir sebagai salah satu pendekatan yang menjembatani akuntansi dan valuasi saham. Teori ini mulai memperoleh tempat penting setelah diperkenalkan secara sistematis oleh James Ohlson (1995), seorang ekonom yang mencoba memformalkan hubungan antara nilai pasar ekuitas dan laporan keuangan berbasis akrual.

CST menyatakan bahwa nilai suatu perusahaan dapat ditentukan dari data akuntansi saja---khususnya laba bersih dan nilai buku ekuitas---selama seluruh perubahan dalam ekuitas pemegang saham dicatat melalui laporan laba rugi. Artinya, tidak boleh ada transaksi atau peristiwa penting yang langsung masuk ke ekuitas tanpa terlebih dahulu memengaruhi laba (inilah yang disebut prinsip clean surplus, berbeda dari dirty surplus accounting yang membolehkan pos seperti keuntungan revaluasi aset atau selisih kurs langsung masuk ke ekuitas).

Misalnya begini,  bayangkan seorang pemilik toko roti kecil. Jika ia menghasilkan laba bersih sebesar 10 juta rupiah dan tidak menarik modal atau menambah investasi, maka nilai ekuitas usahanya bertambah sebesar 10 juta juga. CST lalu menjelaskan bahwa laporan keuangan toko tersebut mencerminkan nilai ekonominya secara utuh. Jadi, jika kita tahu berapa besar laba bersihnya di masa mendatang, kita bisa memperkirakan berapa nilai toko itu hari ini. Ohlson menyusun kerangka formalnya dengan mengaitkan nilai ekuitas dengan nilai buku dan laba abnormal masa depan---yakni laba yang melebihi tingkat pengembalian normal.

Kekuatan CST ini adalah kesederhanaannya. Ia mengangkat kembali peran informasi akuntansi dalam penilaian ekuitas, dalam masa ketika banyak ekonom lebih memilih informasi harga pasar. Namun dalam praktiknya, implementasi CST tidak selalu mulus. Standar pelaporan keuangan modern kerap mengizinkan pos-pos seperti Other Comprehensive Income yang masuk langsung ke ekuitas, sehingga menciptakan "kebocoran" dalam sistem CST. Meskipun demikian, model Ohlson tetap digunakan luas dalam penelitian empiris dan menjadi kerangka penting untuk memahami bagaimana laba dan nilai buku dapat digunakan dalam valuasi saham.

Referensi:

Ohlson, J. A. (1995). Earnings, book values, and dividends in equity valuation. Contemporary Accounting Research, 11(2), 661--687. https://doi.org/10.1111/j.1911-3846.1995.tb00461.x

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun