Pada tahun 1970, George Akerlof menerbitkan makalah yang tampaknya jauh dari urusan politik---The Market for Lemons. Namun siapa sangka, teori tentang mobil bekas dan informasi asimetris ini kini relevan untuk membaca kebijakan ekonomi seorang mantan presiden Amerika Serikat: Donald J. Trump. Dalam makalah itu, Akerlof menunjukkan bagaimana pasar bisa rusak ketika pembeli dan penjual tidak memiliki informasi yang setara. Hasilnya? Produk buruk (lemons) membanjiri pasar karena produk baik keluar dari kompetisi. Analogi ini kini seperti metafora sempurna bagi kebijakan tarif dan proteksionisme ekonomi ala Trump.
Ketika Trump mengusulkan tarif 10% untuk semua barang impor, tujuannya diklaim sebagai perlindungan industri dalam negeri dan penyeimbangan neraca perdagangan. Namun para ekonom---termasuk 16 peraih Nobel, di antaranya George Akerlof sendiri---melihatnya justru sebaliknya. Tarif seperti ini bukan hanya meningkatkan harga barang konsumsi rumah tangga (diperhitungkan hingga $1.700 per tahun), tetapi juga memperburuk struktur pasar: industri domestik yang tidak efisien menjadi terlindungi dan malas berinovasi, sementara konsumen kehilangan akses pada barang berkualitas dari luar. Persis seperti yang Akerlof peringatkan: pasar akan diisi oleh 'produk buruk' karena informasi dan insentifnya rusak.
Surat terbuka yang ditandatangani Akerlof dan para peraih Nobel lainnya pada Juni 2024 menekankan bahwa kebijakan ekonomi Trump dapat memicu kembali inflasi dan merusak kepastian hukum dalam hubungan internasional. Bagi Akerlof dan kawan-kawan, problemnya bukan hanya soal tarif, tapi soal pendekatan ekonomi yang menolak kompleksitas dan menggantinya dengan slogan. Dalam kondisi seperti itu, informasi tidak dibuka, akuntabilitas dilemahkan, dan masyarakat dipaksa membeli 'lemon'---produk atau kebijakan yang terlihat menarik di luar, tapi mengecewakan di dalam.
Apa yang membuat kritik ini menarik adalah bahwa Akerlof tidak sedang berbicara sebagai aktor partisan. Teorinya lahir dari dunia akademik, bukan dari gelanggang kampanye. Tapi ketika teori itu digunakan untuk menilai tindakan nyata seperti proteksionisme Trump, kita justru menemukan validitas sosial dan politik dari ilmu ekonomi itu sendiri. Akerlof, tanpa menyebut nama, sudah memberi peringatan sejak setengah abad lalu: pasar yang tidak sehat bukan hanya soal angka, tapi soal kualitas institusi dan informasi yang beredar di dalamnya.
Dalam dunia politik, yang dijual seringkali bukan kebijakan, melainkan narasi. Trump menjual ilusi kedaulatan ekonomi lewat tarif. Namun seperti 'lemon' yang dijual oleh pedagang nakal, janji itu hanya menyembunyikan kerusakan yang lebih dalam: distorsi harga, menurunnya efisiensi, dan meningkatnya beban hidup masyarakat. Maka, ketika kita menilai kebijakan ekonomi Trump, barangkali kita perlu mengingat satu hal: George Akerlof sudah mewanti-wanti sejak 1970.
Kalau Anda membeli 'lemon' sekali, itu mungkin kesalahan pasar. Tapi jika Anda membelinya dua kali---atau memilihnya kembali---barangkali itu sudah menjadi pilihan politik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI