Jakarta-Diduga Terbuai dengan ucapan manis terdakwa Robianto Idup, Dirut PT Graha Priman Energy (Herman Tandrin) menjadi korban penipuan dan penggelapan.
Peristiwa bermula saat Saksi Korban Herman Tandrin yang diduga terbuai bujuk rayu ucapan Terdakwa Robianto Idup, yang akhirnya saksi korban Herman Tandrin mau untuk bekerja sama usaha tambang batubara, Namun kerja sama tersebut tidak berlangsung lama, kerena terdakwa Robianto Idup tidak kunjung membayar apa yang telah menjadi hak Herman Tandrin.
Hal itu terungkap dalam persidangan perkara  penipuan dan penggelapan yang di gelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa 14/7/2020 dengan terdakwa Robianto Idup (komisaris PT Dian Bara Genoyang).
Dalam persidangan saksi korban Herman Tandrin, yang berdomisili di Samarinda, menyebutkan bahwa dirinya sudah mengenal Terdakwa Robianto Idup sebelum menjalin kerjasama, Maret 2011 terdakwa Robianto Idup mengajak Saksi korban Herman Tandrin untuk kerja sama dalam hal pertambangan batubara, Herman Tandrin pun tertarik. Terlebih saat terdakwa menyebutkan bahwa di areal tambang miliknya terdapat banyak cadangan batubara, Hal tersebut yang membuat Herman Tandrin bersemangat.
Terbuai dengan ucapan terdakwa, bahwa di areal tambang miliknya terdapat banyak cadangan batubara, Herman Tandrin lalu berfikir keuntungan besar yang bakal didapatkan, Hal itulah yang membuat Herman Tandrin setuju dengan kerja sama tersebut. Pihaknya pun membangun jalan dan pelabuhan terlebih dahulu di areal tambang milik terdakwa Robianto Idup.
Dalam persidangan saksi korban mengatakan, hanya beberapa bulan saja kerja samanya berlangsung lancar, untuk pembayaran selanjutnya atas apa yang telah dikerjakan tersendat-sendat, terdakwa beralasan bahwa uangnya telah diinvestasikan pada perusahaannya yang lain. Alasan lain dikatakan bahwa uang tagihan saksi korban Herman Tandrin dipergunakan ibu terdakwa.
Terdakwa Robianto Idup menjanjikan akan segera dibayar tagihannya jika Herman Tandrin melanjutkan pekerjaan penambangan di areal miliknya, Lagi-lagi dijanjikan oleh terdakwa hingga akhirnya pekerjaan distop pada tahun 2012.
"Yang tidak dibayar itu tagihan April, Mei dan Juni 2012. Saat itu saya sudah tidak sanggup lagi melanjutkan pekerjaan penambangan, kecuali dibayar tagihan yang sudah tertunggak," ungkap Herman Tandrin.
Saat ditanya oleh Ketua Majelis Hakim Florin Sani, berapa total tagihannya yang belum dibayar Terdakwa?saksi Herman Tandrin mengatakan sekitar Rp 70 miliar. "Tadinya itu ada dalam bentuk mata uang dolar Amerika Serikat dan sebagian lagi berupa mata uang rupiah," tutur Herman Tandrin.
Mendengar hal tersebut, penasihat hukum terdakwa, Hotma Sitompul, mempertanyakan berapa denda yang harus dibayar saksi korban kepada terdakwa akibat pekerjaan penambangan tidak mencapai target.? "Kami tidak pernah ditagih, Kami hanya diberi peringatan saja. Lagi pula keterlambatan dalam pelaksanaan pertambangan itu terjadi akibat longsor, dan bukan (longsor) akibat penambangan yang kami lakukan," kata saksi.