Mohon tunggu...
Cak Glentong
Cak Glentong Mohon Tunggu... Guru - Pemerhati masalah budaya dan agama

Pemerhati masalah budaya dan agama

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Tradisi Bersedih Saat Idul Fitri Datang

12 Mei 2021   10:03 Diperbarui: 12 Mei 2021   10:06 1947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tebar Hikmah Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Sejak kecil saya mempunyai pemikiran bahwa Idul Fitri bukan saatnya berbahagia, tidak seharusnya seorang muslim gembira ria pada hari tersebut.  Ada kenangan yang membentuk pemikiran seperti itu dalam diri saya. Kiai yang biasa menjadi imam dan kultum di masjid tempat saya sholat sewaktu saya masih kecil, setiap menjelang akhir Ramadan selalu menjelaskan bahwa para ulama salaf yang mulia tidak pernah menyambut idul fitri dengan kegembiraan bahkan mereka menangis karena saat yang bersamaan hari berpisah dengan bulan mulia Ramadan dan tidak tahu apakah tahun depan akan berjumpa lagi, dengan intonasi yang sangat menyakinkan beliau menjelaskan "berbahagia saat berpisah dengan Ramadan bukan sifat dari para ulama yang mulia."

Pemikiran yang ditanamkan oleh kiai saya sejak kecil,  rasanya masih melekat dalam pemikiran saya sampai sekarang, saya merasa kesulitan untuk bergembira dengan datangnya idul fitri. Dan sangat sulit memahami mengapa orang-orang bergembira di hari itu bahkan ada yang menggelar pentas musik di tempat wisata dengan tema Idul Fitri, lebih aneh lagi ketika mendengar ucapan selamat Idul Fitri "Selamat menyambut hari kemenangan". Lha kemenangan apa ?? Kemenangan dari siapa?? Selama bulan ramadan, saya lebih sering jadi pecundang, tarawih sering bolong-bolong kalaupun mengerjakan masih banyak kekurangannya.

Ibnu Rajab Al-Hambali seorang ulama yang terkenal pernah berkata "Bagaimana bisa seorang mukmin tidak menetes air mata ketika berpisah dengan Ramadan. Sedangkan ia tidak tahu apakah masih ada sisa umurnya untuk berjumpa lagi." Ada banyak kutipan dari para ulama salaf yang mulia sebagaimana perkataan Ibnu Rajab di atas, ada perasaan bersedih saat harus berpisah dengan bulan suci.

Tentu semua ini berbeda di era sekarang ini, ketika orang-orang terlihat bergembira ria menyambut Idul Fitri, sedangkan jamaah sholat isya' dan tarawih berkurang, karena jamaahnya pindah ke mal dan supermarket. Memang kalau seseorang mau meluangkan waktunya untuk merenung. Mau bertanya ke hatinya yang paling dalam "Apa yang dirasakan saat berpisah dengan ramadan?" Pastilah hati kecilnya akan mendapatkan suasana sedih, karena berpisah dengan bulan yang mulia. Pada bulan Ramadan setiap kebaikan akan dilipatgandakan pahalanya, lalu begitu masuk 1 syawal, semuanya akan kembali seperti hari hari biasa dan bulan-bulan biasa, sampai nanti bisa bertemu dengan bulan Ramadan lagi. Itupun jika umur masih sampai di Ramadan tahun depan.

Ada pergeseran makna Idul Fitri menjadi momentum perayaan yang dirayakan dengan kegembiraan,yang terkadang berlebihan dan menyelisihi ajaran Islam itu sendiri. Pada zaman Nabi Muhammad SAW, nabi dan para sahabat mengisi malam Idul Fitri dengan bertakbir, keesokan harinya nabi dan para sahabat menuju tanah lapang untuk mengerjakan sholat id. Setelah mereka saling mendoakan dengan ucapan yang mashur " Taqaballahu minna wa minkun", semoga Allah menerima amal yang kami lakukan dan amal kebaikan yang kamu lakukan. Tidak ada yang mereka harapkan, semua amal yang dilakukan di bulan ramadan diterima oleh Allah.

Semenjak saya dewasa, saya tidak lagi mendengar para ustadz yang memberi ceramah selepas tarawih mengisahkan rasa sedih para ulama salaf saat mengakhiri ramadan, sungguh mereka tidak ingin berpisah dengan bulan mulia tersebut. Maka ketika syawal mendekat dan Idul Fitri sudah di depan mereka bersedih, saatnya hari perpisahan itu sudah datang.

Salah satu sifat utama para ulama salaf adalah merasa amalnya kurang, walaupun jika dibandingkan dengan apa yang kita lakukan mereka jauh lebih baik. Beda kita di zaman ini yang mudah merasa sudah baik walaupun amalnya belum layak disandingkan dengan para salaf mulia. Mungkin karena itulah mereka merasakan kesedihan saat berpisah dengan ramadan, sedang kita merasa gembira berpisah dengan ramadan, di mana kita bisa lebih bebas makan dan minum di siang hari. Mereka melihat berpisah dengan ramadan secara ruhani, sedangkan kita hanya berdasarkan hawa nafsu yang melekat kepada kebutuhan-kebutuhan biologis saja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun