Mohon tunggu...
Husni el-Jufri
Husni el-Jufri Mohon Tunggu... -

al-Azhar University

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Transformasi Keislaman; Antara Realita dan Dilema

3 April 2012   01:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:06 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Indonesia, Negara yang masyhur dengan pernak-pernik perbedaannya. Dari Sabang sampai Merauke, berjajar pulau-pulau yang tergores kanvas indahnya kemajemukan (pluralistik). Adagium Jawa yang menuturkan “mowo desa, mowo cara; tiap desa, berbeda adat dan istiadatnya”; menyimbolkan sebuah sunnatullah yang menjadi anugerah tak terhingga bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pun, Bhineka Tunggal Ika, sumpah pemuda dan para pendiri negara kita (founding fathers), tidak rela bila persatuan dan kesatuan, serta keutuhan ibu pertiwi, akan tercabik-cabik dengan dominasi pribadi atau golongan yang mengacung-acungkan perbedaaan. Realita tersebut nampak gamblang akhir-akhir ini; disintegrasi bangsa menjadi rawan, lenyapnya akar-akar kultural teposeliro (toleransi) dan saling menghormati antar warga negara indonesia, malah tak sedikit yang luntur nasionalismenya dan enggan mengakui atau bahkan menyebut kebesaran ibu pertiwi.


Hubbul Wathan minal Iman, hampir tak bertengger lagi dalam dada dan sanubari sebahagian kaum muslim Indonesia. Tak sedikit, yang cinta dan fanatik terhadap agamanya, namun picik terhadap nasionalismenya. Sang Pecinta tanah air (nasionalisme) disejajarkan dengan kafir, na’udzubillah. Nilai-nilai keislaman warisan Walisongo mulai tak dihiraukan. Aktivis-aktivis muslim kampus, lebih gandrung dengan gerakan-gerakan Islam (harakah Islamiyah) ala Timur Tengah, tanpa mengkontekstualisasikan dengan fakta dan realita tanah air. Tak heran, bila seorang lebih bangga disebut sebagai muslim-arab dengan segala atributnya; seperti jenggot, jubah, cadar, jidat hitam, dan lain-lain, daripada sebagai seorang muslim asal Indonesia dengan nilai-nilai pengajian kebudayaannya. Malah, tak sedikit yang menganggap walisongo hanya sebagai mitos dan cerita pengantar tidur, alangkah “alim” lisan sang pengucap ungkapan tersebut!. Mudah menuduh bid’ah, sesat, kufur, syirik, dan seabrek vonis lainnya, menjangkit aktivis-aktivis muslim kampus. Ramah-tamah, indah dan mudahnya agama lenyap begitu saja. Penulis teringat, Gamal Abdul Naser sebagai tokoh nasionalisme Mesir yang membabat habis al-Ikhwanul al-Muslimun, bukan Ikhwanul Muslimin (sebab sifat-maushuf, bukan idhafah). Ibarat bagian tubuh yang harus diamputasi, dia menghabisi tokoh sentral pergerakan tersebur; Hasan al-Banna, Sayyid Qutub, dan lain-lain. Dari lubuk hati yang terdalam, penulis iri dengan nasionalisme warga negara Mesir, walaupun secara kasat mata hanya sebatas dalam kancah pertandingan sepakbola.


“Jas Merah, Jangan sekali-kali melupakan sejarah” itulah pesan Bung Karno sebagai bapak nasionalisme Indonesia. Mesir adalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan kita. Semangat nasionalisme yang tumbuh subur di negara ini, acapkali kita acuhkan begitu saja. Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, al-Kawakibi dan lain-lain sering kita puja, sebagai bapak pembaharuan. Hasan al-Banna yang notabene penggagas Ikhwanul Muslimun dan murid Muhammad Abduh, sering kita agung-agungkan namanya. Sementara Sayyidina Husain (sebagai bapak Syuhada’ Islam Internasional), Sayyidi Imam Zainul Abidin, Sayyidah Zainab, Sayyidah Nafisah, Sayyidi Ahmad Badawi, Sayyidi Abul Hasan al-Shadzili, Sayyidi Ibrahim al-Qurasyi addusuqi dan para pahlawan penyambung keindahan dan kemudahan islam, kita nomor duakan. Lidah kita lebih akrab menyebut Mujaddid (sang pembaharu) Muhammad Abduh dan Imam Hasan al-Banna daripada Sayyidina wa Maulana al-Imam Husain sayyid syabab Ahlil Jannah. Tak ayal lagi, tanpa etika dan sopan santun, tak sedikit mulut yang terasa ringan menyebut dengan remehnya; Husain, enggan mengunjunginya, bahkan menuduh para peziarah maqamnya, dengan tuduhan syi’ah, kafir, syirik dan sesat. Kanjeng Rasul berpesan “ al-Din Kulluhu Mahabbah ahlul Bait” ?. Seorang penyanyi legendaris kenamaan Mesir, beragama Yahudi, Laila Murad, yang mempopulerkan lagu “Madad ya Ummu Hasyim” , akhirnya menemukan keindahan Islam melalui cinta Ahlul Bait. Imam Syafi’I yang menjadi bintang “Fiqh Islam” menyebutkan; “ Lau Kana Hubbu Ahlil Baiti Syi’atun; La Inni Bi Tilkal Hub Rafidu “ ; andai saja cinta ahlul bait dituduh syi’ah, niscaya akulah Sang Syi’ah Rafidhah. Kait-kelindan nilai-nilai cinta tersebut, memiliki benang merah dengan nuansa keislaman Indonesia tempo dulu yang akrab dan ramai dengan kulturalisasi cinta ahlul bait.


Semenjak kehadiran Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, hingga Muhammad bin Abdul Wahab nuansa cinta Ahlul Bait mulai pudar. Bila Imam Shalahuddin al-Ayyubi membangkitkan semangat kemenangan perang Salib dengan nuansa maulid nabi, sebuah ekspresi cinta nabi melalui tradisi dan budaya yang melekat hingga sekarang. Di Mesir, Halawiyatul Maulid, merupakan tradisi yang melestarikan nilai-nilai keindahan dan ramah tamah ajaran Islam. Maka, terorisme yang marak di Indonesia dan sering diidentikkan dengan jihad dan mati syahid, kekerasan dan fundamentalisme islam yang sering dinisbatkan sebagai dalih manivestasi amar ma’ruf nahi munkar, perlu dikaji ulang. Islam puritan telah banyak mengganggu peredaran jantung keislaman Indonesia. Stabilitas nasional sering terganggu dengan fatwa-fatwa menghebohkan yang sadis, garang dan tanpa ampun.


Di Sisi lain, aktivis-aktivis pemikir muslim sibuk dengan idealismenya yang melangit dan melambung hingga ke awan. Rakyat-rakyat jelata kelaparan, membutuhkan makanan jasmani maupun rohani, sementara kita masih kebingungan untuk menempatkan diri. Sebahagian orientasi mahasiswa-mahasiswi muslim hanya matrealisme, hedonsime dan kesenangan utopia belaka. Pemahaman tentang keindahan Islam yang rapuh menjadikan penerus tongkat estafet hari esok, terjerembab dengan kepentingan sesaat yang bersifat oportunis.


Transformasi keislaman dari timur tengah menuju tanah air, kian usang dan lapuk ternakan oleh zaman dan teritorial. Pencerahan yang diharapakan lahir dari rahim keislaman timur tengah, mengalami penyumbatan di ranah keindonesiaan. Tak heran, bila mayoritas alumni-alumni timur tengah, jauh tertinggal dibelakang intlektual-intlektual muslim muda Indonesia, baik secara metodologi maupun kapabilitas keilmuwan. Sampai kapan ketimpangan ini terjadi, padahal kita di luar negeri, mengapa kita bingung untuk merubah nasib negeri sendiri atau malah sering kebingungan memikirkan nasib sendiri?. Innallah La Yughayyiru Ma Bi Qaumin, Hatta Yughayyiru Ma Bi Anfusihim, bila bukan kita yang merubah, siapa lagi?.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun