Baru-baru ini, Pertamina menyatakan optimis akan mencetak laba pada akhir tahun. Hal ini menjadi kabar yang melegakan setelah perusahaan BUMN tersebut mengalami kerugian pada awal tahun lalu.
Tapi apakah mungkin Pertamina bisa mencetak laba pada akhir tahun ini? Untuk menjawabnya, kita perlu tengok dulu bagaimana perjalanan Pertamina setahun ini.
Kita ingat betul, Pertamina mengawali tahun ini dengan start yang tidak begitu mulus. Tercatat selama semester I/2020, Pertamina mengalami kerugian hingga 767,92 juta dollar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp 11,13 triliun.
Namun, kerugian Pertamina itu bukan karena salah kelola manajemen. Tapi lebih karena disumbangkan oleh sebab struktural.
Pertama, melemahnya kurs rupiah terhadap dollar AS. Nilai tukar rupiah berada di titik terendah pada Maret lalu hingga menyentuh angka Rp 16.608 per dollar AS.
Padahal, belanja perusahaan, seperti untuk impor minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM), menggunakan mata uang dollar AS. Otomatis ini menggerus kas perusahaan.
Kedua, faktor pandemi yang membuat penjualan turun drastis. Padahal sumber utama pendapatan Pertamina dari sisi hilir ini.
Kebijakan Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) membuat mobilitas masyarakat terhenti. Hal ini berdampak pada minimnya permintaan bahan bakar, sehingga menyebabkan anjloknya penjualan BBM.
Kalau mau menengok ke belakang, periode Februari hingga Mei 2020 merupakan masa-masa tersulit bagi Pertamina. Bahkan saat diberlakukan PSBB di sejumlah daerah, penurunan permintaan BBM di kota-kota besar mencapai lebih dari 50 persen.
Namun patut dicatat, kondisi keuangan yang merugi seperti itu tak hanya dialami oleh Pertamina saja. Semua perusahaan migas di dunia juga mengalami hal yang sama, bahkan lebih parah lagi. Seperti Exxon Mobil yang rugi 1,1 miliar dollar AS, BP mencapai 6,7 miliar dollar AS, dan Chevron hingga 8,3 miliar dollar AS.