Mohon tunggu...
Cacahandika
Cacahandika Mohon Tunggu... Seniman - For study

Seniman jahat mengimitasi, seniman hebat mencuri - Banksy

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Representasi Penyandang Disabilitas dalam Surat Kabar Indonesia

22 September 2020   12:06 Diperbarui: 22 September 2020   12:19 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Yogyakarta (19/09) - Rujukan "penyandang disabilitas" atau "penyandang disabilitas" digunakan secara bergantian dengan "penyandang disabilitas" atau "orang cacat". Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang istilah yang digunakan di berbagai artikel. Apakah penggunaan ini mencerminkan sikap penulis terhadap masalah tersebut, oleh karena itu bagi penyandang disabilitas atau hanya masalah kemanfaatan, karena kata "cacat" lebih sederhana dan lebih praktis daripada "orang dengan disabilitas" atau "individu dengan gangguan penglihatan?” Tulisan ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan tersebut.

Indonesia mengadopsi kata "disabled" atau "disability" ke dalam leksikon Indonesia dan menjadi "disabilitas". Ini adalah kata benda yang memiliki arti semantik yang sama dengan kata dalam bahasa Inggris- tidak memiliki kekuatan atau kekuatan yang memadai untuk berfungsi secara fisik, sosial, dan budaya. Label “disabled people” dan “people with disabilities” diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai “Penyandang disabilitas” [penyandang disabilitas]. Fokus utama rujukan pada kecacatan seseorang, baik itu meletakkannya sebagai kata sifat seperti dalam "orang cacat" atau sebagai frasa kata benda setelah kata 'orang' seperti dalam "orang dengan cacat," berkonotasi dengan stigma negatif seperti "lemah, pasif , tidak cerdas, tidak berharga, bermasalah.

Pelabelan tersebut tidak hanya merupakan bentuk penindasan, tetapi juga merupakan bentuk invasi identitas. Invasi identitas terjadi "melalui praktik pelabelan dan penggunaan bahasa hegemonik yang merugikan citra [orang yang diberi label]". Dalam konteks para penyandang disabilitas, pelabelan semacam itu mungkin memiliki pengaruh sosial, budaya dan politik. Untuk mengilustrasikan, label "orang cacat" menggeser fokus pada efek gangguan pada seseorang sehingga membatasi identitas seseorang yang dicap sebagai 'penyandang cacat', mengabaikan fakta bahwa setiap orang memiliki kemampuan dan kekuatan unik mereka sendiri. Pelabelan ini diberlakukan dan ditampilkan kembali melalui wacana sehari-hari yang dapat diwariskan dari generasi ke generasi dan membuat pemisahan antara tubuh-cacat dan cacat-tubuh tampak alami.

Meskipun bahasa yang dianalisis adalah bahasa Inggris, dikotomi melalui penggunaan dan penyebaran bahasa hegemonik juga nampak dalam masyarakat Indonesia. Nyatanya, label semacam itu telah digunakan dalam bahasa sehari-hari di dalam dan di antara kelompok-kelompok yang memiliki kemampuan untuk bercanda dan merujuk pada anggota kelompok yang menunjukkan ciri-ciri yang secara sosial dan budaya dianggap tidak diinginkan. Misalnya di Indonesia labelnya Autis [Autis] dan Gila / Gangguan Jiwa [mental/ developmentally retarded] telah banyak digunakan sebagai lelucon atau humor Indonesia. Misalnya, dalam pertemuan kelompok ketika salah satu anggota kelompok sedang bermain-main dengan ponselnya dan sedikit berinteraksi dengan anggota lain, ia akan dipanggil atau dijuluki 'Autis' (Autis). Cara orang menggunakan label seperti itu sebagai lelucon dalam penggunaan sehari-hari mewujudkan nilai-nilai kemampuan. Dengan kata lain, praktik tersebut menjunjung supremasi berbadan sehat melalui humor dan fakta bahwa hal itu digunakan dalam wacana humor sehari-hari menunjukkan bahwa supremasi tersebut telah berakar dalam masyarakat Indonesia dan dianggap sebagai fenomena yang netral dan wajar.

Meskipun belum ada penelitian yang dipublikasikan mengenai pengaruh label ini jika digunakan dalam bahasa sehari-hari, beberapa artikel surat kabar, petisi, dan blog telah mendesak masyarakat untuk berhenti menggunakan label seperti itu sebagai lelucon dalam wacana lisan dan tertulis sehari-hari di Indonesia. Para aktivis mengimbau masyarakat untuk melihat penyandang disabilitas sebagai manusia yang mampu mengarungi kehidupannya sendiri dengan keunikannya masing-masing.

Beberapa aktivis di Indonesia menganggap terminologi seperti di atas sebagai "ofensif dan stigmatisasi karena mereka menyamakan manusia dengan terminologi objek". Keberatan ini membuat para aktivis disabilitas di Yogyakarta mencari istilah baru yang inklusif untuk penyandang disabilitas. Para pendukung ini memilih dan mendesak orang Indonesia untuk menggunakan istilah yang lebih inklusif, 'difabel'. Kata 'difabel' adalah kependekan dari kata 'difabel' atau 'berbeda kemampuan'. Istilah ini dipelopori oleh Mansour Fakih, yang memobilisasi komunitas penyandang disabilitas untuk berkreasi istilah non-opresif untuk melawan istilah yang menindas disabilitas saat ini, sehingga menjadikannya istilah akar rumput pertama. diambil dari model sosial disabilitas, menempatkan disabilitas dalam konteks sosial dan budaya. Dalam kerangka ini, disabilitas tidak dilihat sebagai konsekuensi alami dari cacat tubuh atau mental seseorang, tetapi sebagai konsekuensi dari kegagalan masyarakat dalam menciptakan lingkungan sosial budaya yang bersahabat dengan penyandang disabilitas.

Penggunaan terminologi canist yang lazim dan hampir tidak ada penggunaan istilah difabel yang baru diperkenalkan menunjukkan bahwa model medis dan model amal dari disabilitas tetap berakar dalam di masyarakat Indonesia. Di bawah dua kerangka kerja ini, penyandang disabilitas dipandang sebagai anggota masyarakat yang terpecah karena kondisi biomedis mereka dan karenanya bergantung pada dukungan dari kelompok yang berbadan sehat. Terlepas dari kenyataan bahwa istilah difabel akar rumput telah digunakan di tiga provinsi sejak tahun 2011, pemerintah Indonesia belum mengatur penggunaan difabel di seluruh negeri.

Hal ini selanjutnya mempertahankan hegemoni saat ini dalam dua cara. Pertama, suara para penyandang disabilitas sayangnya tidak didengar. Ini sangat jelas karena istilah elit tersebut telah berubah dari waktu ke waktu. [Misalnya, dari istilah 'cacat' (cacat) pada tahun 1947 menjadi 'orang dalam keadaan kekurangan jasmani atau rohani' (Orang yang kekurangan kebugaran jasmani dan rohani) pada tahun 1954, 'orang yang tidak terganggu atau kehilangan kemampuan untuk mempertahankan hidupnya' yang terganggu atau kehilangan fungsinya) tahun 1974, tuna tahun 1974, penderita cacat tahun 1980, penyandang cacat tahun 1980, penyandang cacat penderita cacat ) pada tahun 1991, pada 'kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, atau sosial' (fisik, emosional, mental, emosional). kelainan intelektual atau sosial) pada tahun 2003, 'berkebutuhan khusus' (berkebutuhan khusus) pada tahun 2011, dan 'penyandang disabilitas' (penyandang disabilitas).] Perubahan ini dipimpin oleh elit bukan dipimpin oleh akar rumput. Kedua, kurangnya penegakan nasional dari istilah yang dipimpin oleh akar rumput seperti itu mempertahankan hegemoni saat ini dari kelompok yang berbadan sehat, di mana yang berbadan sehat akan memutuskan apa yang terbaik untuk kelompok yang tidak berbadan sehat.

Penyandang disabilitas dalam wacana media massa Indonesia dikonstruksi secara diskursif dengan peran tematik sebagai ' pasien' dan 'penerima' melalui konstruksi sintaksis dan penggunaan ekstensif terminologi canist. Wacana massa media kontemporer Indonesia mempertahankan model medis dan amal dari disabilitas. Model medis dari kecacatan ini memandang disabilitas hanya sebagai efek tak terhindarkan dari gangguan yang mengimplikasikan bahwa kecacatan harus diperbaiki agar penyandang disabilitas dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat. Model charity disabilitas di sisi lain memandang penyandang disabilitas sebagai anggota kelompok yang membutuhkan perlindungan dan kepedulian, sehingga dilakukan intervensi yang dianggap terbaik bagi penyandang disabilitas termasuk pendirian sekolah terpisah dan lembaga pelatihan kejuruan. . Pandangan ini telah menciptakan biner antara grup 'abled' dan grup 'disabled' di mana grup 'abled' kelompok dianggap lebih unggul dan dengan demikian dapat mengontrol kelompok 'cacat'. Biner ini terlihat pada kasus di Indonesia dimana para penyandang disabilitas diasingkan terutama yang memiliki gangguan jiwa. Orang-orang dengan gangguan mental ini diasingkan dengan menempatkan mereka di satu rumah yang jauh dari masyarakat dengan tangan atau kaki terikat atau dirantai. Apa yang dilakukan terhadap kelompok orang ini, sebagaimana diindikasikan oleh fenomena ini, dianggap sebagai 'intervensi' yang masuk akal. Dengan kata lain, jika kecacatannya tidak bisa diperbaiki, maka kelompok orang ini mungkin tidak bisa menyesuaikan diri dengan masyarakat. Orang-orang dengan gangguan mental ini diasingkan dengan menempatkan mereka di satu rumah yang jauh dari masyarakat dengan tangan atau kaki terikat atau dirantai. Apa yang dilakukan terhadap kelompok orang ini, sebagaimana diindikasikan oleh fenomena ini, dianggap sebagai 'intervensi' yang masuk akal. Dengan kata lain, jika ketidakmampuannya tidak bisa diperbaiki, maka kelompok orang ini mungkin tidak bisa menyesuaikan diri dengan masyarakat. Orang-orang dengan gangguan mental ini diasingkan dengan menempatkan mereka di satu rumah yang jauh dari masyarakat dengan tangan atau kaki terikat atau dirantai. Apa yang dilakukan terhadap kelompok orang ini, sebagaimana diindikasikan oleh fenomena ini, dianggap sebagai 'intervensi' yang masuk akal. Dengan kata lain, jika kecacatannya tidak bisa diperbaiki, maka kelompok orang ini mungkin tidak bisa menyesuaikan diri dengan masyarakat.

Namun, memandang penurunan nilai sebagai satu-satunya faktor penonaktifan adalah salah. Ini gagal untuk melihat bahwa masyarakat mengambil bagian dalam penyandang disabilitas karena masyarakat tampaknya lebih peduli tentang apa yang tidak bisa diperbaiki daripada apa yang dibutuhkan setiap orang dengan disabilitas. Dengan kata lain, disabilitas, dalam pandangan ini, tidak melumpuhkan orang, masyarakat yang melumpuhkan. Seseorang dengan tunanetra, misalnya, dapat mengakses pendidikan mengingat masyarakat menerima alternatif yang berbeda untuk memahami dan mengakses informasi. Dengan kata lain, penyandang tunanetra dapat belajar di sekolah biasa mengingat masyarakat menerima dan menyediakan perangkat yang diperlukan untuk mengakses pembelajaran seperti pembaca layar, buku dalam huruf braille, dan lain-lain. Contoh lain, seorang penyandang disleksia juga tidak boleh termasuk kategori 'cacat' kelompok jika masyarakat menerima alternatif yang berbeda untuk komunikasi tertulis. Masyarakatlah yang harus diubah agar orang-orang yang memiliki keterbatasan dapat hidup dalam masyarakat dan dengan demikian orang-orang yang cacat harus dilihat sebagai alternatif dan/ atau keanekaragaman daripada ketidaknormalan. Alternatif dan/ atau keragaman ini harus dirangkul dan dirayakan oleh masyarakat.

Sumber:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun