Mohon tunggu...
Nia Mardiyani
Nia Mardiyani Mohon Tunggu... Freelancer - Just a Dandelionia

"Tiap tulisan pasti menemui pembacanya"

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Part 2: Sebuah Renungan Bagi Orang Dewasa Dari Tayangan Drama Korea

27 Januari 2020   21:38 Diperbarui: 1 Februari 2020   22:17 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Ketika jahat menjadi hal biasa. Setelah pihak kepolisian mengatakan percobaan bunuh diri itu disebabkan karena nilai pelajaran semata, desas-desus mengenai anaknya mulai mencuat, "Anak itu melakukan bunuh diri karena dia stres.  Nilai pelajarannya menurun drastis, padahal orang tuanya memilih pindah supaya tempat tinggalnya dekat dengan sekolah sang putra.". Justifikasi tidak berperasaan itu muncul dari mulut ke mulut para orang tua siswa lain, yang merasa begitu terganggu atas masalah ini. 

Anak-anak seharusnya fokus belajar --mengukir prestasi, tapi harus mengalami kegaduhan atas kasus yang tidak begitu penting bagi mereka. Pernyataan seorang anak ketika diwawancari pihak kepolisian menjadi sayatan paling tajam, "Orang dewasa tidak peduli apapun kecuali nilai pelajaran. Mereka cenderung berdemo atas bocornya jawaban pelajaran ketimbang mengurusi hal-hal semacam ini.".

Keluarga Seon Ho meskipun ditampakkan bahagia dalam pandangan mata, tapi mereka hanyalah kumpulan manusia biasa yang bukan tanpa cela. Selama proses perjalanan untuk mengungkapkan kasus anaknya yang jatuh dari atap gedung sekolah, keraguan sempat terbersit diantara hati keduanya. 

Sang ayah yang tidak begitu percaya diri, bahwa kasus ini adalah kriminalisasi lantaran tidak adanya bukti dan hanya mengikuti perasaan sang istri. Sebagai orang tua, sang ayah juga tidak begitu mengerti dengan keinginan anaknya. Semua yang dilihat begitu positif, seolah tidak akan pernah terjadi apa-apa dalam menjalani kehidupan ini. Hal itu dibuktikan dengan ditampilkannya adegan ketika sang ayah mengabaikan telfon Seon Ho, padahal itu menjadi moment kali terakhirnya --yang mungkin saat itu dia sedang ingin menceritakan masalahnya.

Mendengar, yang lebih dibutuhkan di dunia ini adalah mendengar dengan penuh pengertian. Lingkungan di luar sana begitu menyakitkan perasaan seorang anak yang 'belum mengerti apa-apa' tentang beban. Oang tua yang dianggap sebagai pihak dewasa sudah sepantasnya perannya memberi perhatian lebih pada sang anak. Mendengar cerita penuh pengertian dalam menyikapi atas tindakan yang mungkin didalamnya adalah kekeliruan dan mesti diluruskan, lalu yang paling penting yakni dengan menaruh kepercayaan pada jiwa-jiwa yang masih mudah patah. Itulah yang dilewatkan oleh ayah Seon Ho.

Harapan segar itu ada, meski menjadi moment paling menyesakkan untuk disaksikan. Seseorang --tanpa diketahui pengirimnya, mengirim suatu video yang ternyata berisi Seon Ho tengah dipukuli habis-habisan oleh temannya. Bergetar tangan sang ibu menyaksikan tampilan adegan itu, tangis yang begitu pilu mulai terdengar dari bibirnya, tak selang berapa lama dia memuntahkan isi perutnya ke dalam closet. Seon Ho dilahirkan dari perutnya, membawa keberkahan dalam keluarga kecilnya, dia merawatnya dengan penuh kasih sayang, tetapi orang luar --yang bukan siapa-siapa, memperlakukan anaknya dengan begitu tega. 

Tangis itu terhenti dengan menyaksikan wajah sang suami, lalu berkata, "Kenapa kau tidak mengangkat telfonnya? Kalau kau mengangkat telfonnya..." kata-kata itu terhenti seiring dengan ambruknya tubuh yang biasanya kuat. Tangisannya kembali berderai. Tugas sang suami bertambah berat, menenangkan sang istri dan juga merasakan hatinya yang sama terlukanya.

Joon Seok --tokoh yang begitu penting juga dimunculkan dalam drama ini, dijadikannya sahabat Seon Ho. Perasaannya sama terlukanya dengan orang tua Seon Ho. Dia digambarkan sebagai sosok anak yang tidak boleh rendah diri dihadapan orang lain, ayahnya menenkankan itu kepadanya. Melihat Seon Ho yang begitu baik hati, suka menolong orang-orang lemah yang rawan bullying, selalu tersenyum, memiliki keluarga hangat dan siap melindunginya, menjadikan harga diri Joon Seok terluka parah. Sebab itu dia melakukan hal yang bukan dirinya, merisak Seon Ho melalui perantara orang lain, menyebutnya sebagai permainan Captain America. Setiap tokoh yang memukuli Seon Ho diberi nama 'pahlawan' oleh Joon Seok, dia menyaksikan aksi pemukulan itu dengan senyum kemenangan.

Orang tua lah yang membentuk sisi Jeon Sok hingga menjadi sosok seperti demikian. Lahir dari keluarga kaya, ayahnya menjadi ketua yayasan sekolah membuatnya sebagai anak yang harus menjaga wibawanya. Orang lain yang bukan siapa-siapa, sekaliber Seon Ho sebagai sahabat harus memiliki hierarki yang batasan tersebut tidak boleh dilewati. Seon Ho hanyalah anak seorang guru, ibunya hanya penjual roti, tapi kenapa keluarganya begitu hangat memperlakukannya.

Persoalan lain kemudian diungkapkan, bahwa hal ini bukan hanya masalah tindakan bullying. Melainkan adanya kesalahpahaman antara Seon Ho dan Joon Seok mengenai Da Hee. Da Hee digambarkan sebagai gadis korban pelecehan seksual sekaligus berteman dengan Seon Ho dan Joon Seok. Pada Seon Ho, Da Hee mengaku telah menjadi korban pelecehan yang dilakukan oleh Joon Seok. 

Namun, pada orang tuanya Da Hee mengaku telah menjadi korban pelecehan yang dilakukan oleh Seon Ho. Sebuah tanda tanya besar, benarkah anak seusia mereka berani melakukan hal yang tidak seharusnya?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun