Mohon tunggu...
riza bahtiar
riza bahtiar Mohon Tunggu... Penulis lepas

Menulis artikel, esai, dan beberapa tulisan remeh

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Aroma Keabadian dalam Debu Kosmos: Menjelajahi Jalinan Tak Terpisahkan Tauhid, Tujuh Lapisan Wujud, dan Bisikan Sifat-Sifat Ilahi

15 Mei 2025   17:02 Diperbarui: 15 Mei 2025   14:54 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Di jantung Kalimantan hijau nan beraroma rempah, sungai-sungai yang meliuk-liuk laksana ular perak di bawah kanopi hutan purba, lahir seorang alim bernama Syekh Muhammad Nafis al-Banjari. Bukan sekadar nama yang terukir di lembaran sejarah, melainkan sebuah gema yang meresonansi dalam kalbu, menghubungkan Keesaan, tingkatan manifestasi, dan sifat-sifat luhur yang mewarnai wajah Sang Pencipta. Di kampung-kampung yang rumah panggungnya berdiri kokoh di atas air, di mana cerita dituturkan dari generasi ke generasi di bawah rembulan yang menggantung rendah, korelasi ini bagaikan benang emas yang merajut mimpi dan kenyataan. Dari kedalaman kontemplasi sang Arif, mengalir sebuah kitab, Durr al-Nafis, permata berharga yang memancarkan cahaya pemahaman tentang jalinan misterius antara Sang Khalik dan semesta yang Dia ciptakan. Dalam lembar-lembar yang menguning dimakan waktu, tersembunyi labirin konsep yang mengajak jiwa untuk menari di antara keesaan mutlak, tujuh lapisan wujud yang berdenyut, dan bisikan sifat-sifat ilahi yang mewarnai setiap atom debu kosmos.

Bayangkanlah, wahai pembaca, sebuah pagi yang begitu hening hingga suara jantung sendiri terdengar seperti tabuhan genderang jauh. Kabut tipis menyelimuti permukaan sungai, menyembunyikan riak air yang menyimpan rahasia zaman. Di tengah keheningan itu, terbisiklah kata pertama, kata yang menjadi fondasi segala keyakinan: L ilha ill Allh. Tiada Tuhan selain Allah. Inilah Tauhid, Keesaan yang mengatasi segala dualitas, yang melampaui batas-batas pemikiran dan imajinasi. Ia adalah inti dari segala yang ada, sumber dari segala yang mungkin, seperti matahari tunggal yang memancarkan cahayanya ke seluruh penjuru semesta.

Gagasan Tauhid, bagai akar pohon raksasa yang menembus inti bumi, menjadi fondasi tak tergoyahkan dalam Durr al-Nafis. Bukan sekadar pengakuan lisan akan keesaan Allah, melainkan sebuah kesadaran yang meresap hingga ke sumsum tulang, bahwa di balik keramaian ilusi dunia, hanya ada satu Wujud yang hakiki. Syekh Nafis membimbing pembaca untuk melampaui batas-batas pemikiran dangkal, menuju samudra kesadaran di mana "aku" dan "Dia" menari dalam pusaran yang tak terpisahkan. Alam semesta, dalam perspektif ini, bukanlah entitas yang terpisah, melainkan pantulan redup dari Cahaya Yang Maha Agung, seperti bayangan burung camar di atas permukaan air yang tenang.

Namun, bagaimana Keesaan yang tak terjangkau ini menampakkan diri dalam keragaman alam semesta yang memukau? Di sinilah konsep Martabat Tujuh hadir, bagaikan tujuh warna pelangi yang muncul setelah hujan reda, masing-masing memantulkan cahaya yang sama namun dalam spektrum yang berbeda. Syeikh Nafis, dengan kearifan seorang musafir spiritual yang telah melintasi tujuh lembah kesadaran, mengajarkan kita bahwa Keesaan tidaklah terasing dari ciptaan-Nya. Ia hadir dalam setiap tingkatan wujud, dari yang paling halus hingga yang paling nyata.

Martabat Tujuh adalah sebuah tangga kosmik yang menghubungkan Yang Mutlak dengan yang relatif. Tujuh tingkatan wujud, membentang dari ketiadaan yang tak terbayangkan hingga realitas dunia yang kita pijak. Dimulai dari martabat Ahadiyyah, sunyi dan tanpa nama, di mana Dzat Ilahi bersemayam dalam keabadian-Nya sendiri. Lalu, Martabat Wahdah, di mana Keesaan mulai bersemi dalam ilmu-Nya, bagaikan cetak biru yang merencanakan keindahan taman. Martabat Wahidiyah adalah manifestasi awal dari kehendak-Nya untuk menciptakan, seperti embun pagi yang mengandung janji kesegaran. Tiga martabat ini secara bertahap menampakkan diri melalui gelombang-gelombang penciptaan yang semakin konkret. Martabat berikutnya, alam arwah, alam roh yang tak terhingga, lalu martabat Alam Mitsal, alam imajinasi yang penuh simbol, terus ke Alam Ajsam, alam jasad dan material yang kasar. Manusia, dalam tarian kosmik ini, menduduki puncak tangga, sebuah mikrokosmos yang memuat seluruh jejak tujuh lapisan wujud nan merefleksikan kemegahan Sang Pencipta, martabat Alam Insan Kamil.  

Setiap martabat bukanlah entitas yang terpisah, melainkan tingkatan emanasi dari Keesaan yang sama, seperti nada-nada dalam sebuah simfoni yang berbeda namun membentuk harmoni yang agung. Syeikh Nafis, dengan bahasa yang lembut namun menusuk kalbu, membimbing kita untuk melihat jejak Keesaan di setiap tingkatan ini, untuk merasakan denyut nadi Sang Pencipta dalam setiap helai daun dan setiap bisikan angin.

Lalu, bagaimana kita mengenali wajah Keesaan yang bersemayam dalam tujuh tingkatan ini? Di sinilah Sifat Dua Puluh, atribut-atribut keagungan yang sering dilafalkan dalam zikir dan doa,  memainkan peranannya. Bagaikan untaian mutiara yang menghiasi keagungan Sang Pencipta. Dua puluh sifat yang terbagi menjadi nafsiyah (diri), salbiyah (penafian), ma'ani (makna), dan ma'nawiyah (keadaan makna) ini bukanlah batasan bagi Allah Yang Maha Luas, melainkan cara bagi akal budi manusia yang terbatas untuk memahami sebagian kecil dari kesempurnaan-Nya.

Sifat Wujud (Ada) adalah fondasi, seperti tanah subur yang menopang segala kehidupan. Qidam (Terdahulu) dan Baqa' (Kekal) mengingatkan kita akan keabadian-Nya, melampaui siklus kelahiran dan kematian yang mengikat makhluk. Mukhalafatuhu lil hawadits (Berbeda dengan segala yang baru) menegaskan keunikan-Nya yang tak tertandingi. Qiyamuhu binafsihi (Berdiri sendiri) menunjukkan kemandirian-Nya yang mutlak.

Kemudian, sifat-sifat Ma'ani seperti Qudrah (Kuasa), Iradah (Kehendak), Ilmu (Pengetahuan), Hayat (Hidup), Sama' (Mendengar), Bashar (Melihat), dan Kalam (Berbicara) adalah jendela-jendela yang memungkinkan kita mengintip ke dalam keagungan tindakan dan pengetahuan-Nya. Sifat-sifat ini bukanlah atribut yang terpisah dari Dzat-Nya, melainkan manifestasi dari kesempurnaan-Nya yang tak terbagi.

Kekuasaan-Nya terasa dalam setiap putaran galaksi, Pengetahuan-Nya terukir dalam setiap helai daun yang jatuh, Kehidupan-Nya berdenyut dalam jantung setiap makhluk. Sifat-sifat ilahi ini bukanlah sekadar label, melainkan bisikan keabadian yang meresap dalam setiap partikel debu kosmos, mengingatkan kita akan asal-usul dan tujuan akhir perjalanan ini.

Syeikh Nafis, dalam hikmahnya yang mendalam, tidak hanya menyebutkan sifat-sifat ini sebagai daftar hafalan, melainkan mengajak kita untuk merenungkannya dalam konteks Tauhid dan Martabat Tujuh. Bagaimana mungkin Keesaan yang Mutlak tidak memiliki Kuasa untuk menciptakan? Bagaimana mungkin sumber segala ilmu tidak memiliki Pengetahuan yang meliputi segala sesuatu? Bagaimana mungkin Zat yang menjadi sumber kehidupan tidak memiliki Hayat yang abadi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun