Dulu, saat saya kuliah di UNJ Rawamangun, 2002-2004, saya sering menghadiri diskusi rutin tematis, mulai dari diskusi sosial, agama, budaya, dan sejenisnya, yang diadakan Komunitas Utan Kayu.Â
Dari sanalah saya saya mengenal Mas Ulil Abshar secara personal, secara langsung bertatap muka, selain membaca tulisan-tulisan bernasnya di website islamlib.com.
Perkenalan saya selanjutnya ketika saya kerap mengikuti diskusi atau bedah buku terbitan Freedom Institute, yang diadakan di gedung lama Freedom Institute, di Jalan Irian, Jakarta, hingga pindah ke Jalan Proklamasi, kantor barunya Freedom Institute.Â
Selain kenal Mas Ulil, di Freedom Institute inilah, saya juga mengenal Mas Rizal Mallarangeng, Saiful Mujani, Luthfi Syaukani, Hamid Basyaib, Trisno, Nong Andah, dll.
Selain mengenal Mas Ulil aktif di Komunitas Utan Kayu/Teater Utan Kayu dan Freedom Institute, juga saya mengikutinya di Komunitas Salihara, Pasar Minggu, Jaksel. Saya kerap mengikuti agenda-agenda Komunitas Salihara, di mana ada  Mas Ulil di sana, yang tampil mengisi acara, baik sebagai moderator atau pembahas.
Yang saya ingat, terakhir Mas Ulil aktif di Partai Demokrat, entah sebagai apa, yang jelas ia menjadi kader muda NU yang memilih aktif, Â justru bukan di partai yang berbau NU, semacam PKB atau PPP. Setelah Partai Biru itu diterjang berbagai masalah, saya tak pernah lagi melihat Mas Ulil berada di sana, atau mungkin beliau hengkang sebelum ada masalah.
Hingga akhirnya, saya mendengar kabar bahwa Mas Ulil yang dikenal sebagai lokomotif Jaringan Islam Liberal, justru, telah berbalik arah menjadi lebih sufis, sebagai indikator, beliau memulai mengaji dan mengkaji kitab karya Al-Ghazali (penentang filsafat), yang dulu pernah ia "sembunyikan" (baca: tak menjadikan sebagai sumber atau referensi primer ketika ia menulis, atau bahasa lainnya, kitab tersebut ia kritik habis) karena terlalu normatif-tekstualis.
Kesalutan saya selanjutnya adalah justru saat beliau menggeluti karya  Al-Ghazali yang paling populer, Kitab Ihya Ulumuddin, dengan memandu Ngaji Ihya Online di facebook. Beliau sungguh punya kecerdasan ganda, selain menguasai literatur Barat, pula melampaui literatur-literatur Islam (yang) berbahasa Arab dengan komplit ilmu alatnya;  nahwu-irab, sharaf-ilal, dst. Sungguh mumpuni.
Terakhir, beliau kini terlihat sangat bijak dan arif dalam menghadapi dan mengurai masalah. Mungkin imbas dari apa yang kini beliau tekuni. Lebih sufi dari orang-orang yang mengaku-ngaku sebagai habib (turunan Nabi) atau apalah namanya. Demikian, yang saya ingat.
Soal perdebatan hangat bahkan panas antara ilmuwan, budayawan dan agamawan (soal sains), di mana Goenawan Mohamad dan Mas Ulil termasuk di dalamnya, saya hanya sebagai mustami' (pendengar) saja, tak lebih.