[caption id="attachment_191203" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Oleh drh Chaidir BALIHO kandidat Gubernur Riau semakin banyak saja bertebaran di seluruh penjuru angin. Semua menggunakan jurus penjual kecap. Foto-foto yang ditampilkan adalah terbaik. Konon foto itu telah disiapkan dengan ritual khusus. Ada arahan "orang pintar." Foto harus menghadap ke depan (ya iyalah), diambil ketika fajar menyingsing, posisi menghadap ke kiblat, pakaian dalam putih bersih, warna baju ditentukan oleh mimpi, alis mata dioles tipis dengan minyak sinyongnyong, dalam sakunya ada sepotong kecil buluh perindu, dan seterusnya. Maka, aneka wajah yang muncul di baliho itu sangat menakjubkan. Siang terkenang malam terbayang. Sebenarnya, siapa saja boleh pasang baliho. Dia, aku dan kau, boleh mejeng sesuka hati, tak ada yang larang. Justru sekaranglah kesempatannya. Sebab kalau tidak ada momentum pemilihan kepala daerah, tak ada alasan yang kuat untuk pamer wajah di perempatan jalan. Bukankah aneh, tak ada hujan tak ada angin tiba-tiba kita pasang baliho? Pasti masyarakat akan ramai-ramai menempelkan jari telunjuk dalam posisi miring di kening. Nah, kalau ada 40 orang yang menggunakan jari telunjuk seperti itu, urusannya bisa runyam. Setiap orang yang sehat jasmani dan rohani, sah-sah saja mempunyai keinginan atau mimpi untuk menjadi gubernur, bupati atau walikota, bahkan menjadi presiden sekali pun. Dan setiap orang sebenarnya punya kesempatan menjadi pemimpin. Persoalan kesempatan itu besar atau kecil, terbuka atau tertutup, itu masalah rezeki. Sama dengan masalah kemampuan, mampu atau tidak, itu masalah nomor tujuh. Pemasangan baliho itu lebih pada aspek percaya diri. Tetapi sesungguhnya, di samping percaya diri, tahu diri adalah aspek yang tidak kalah pentingnya. Bak bidal orang tua-tua, kalau kail panjang sejengkal janganlah laut hendak diduga. Gubernur, bupati, walikota (dan wakil-wakilnya) adalah pejabat pemerintah. Mereka adalah penguasa atau pejabat sesuai dengan jabatannya. Mereka punya instrumen kekuasaan berupa seperangkat peraturan perundang-undangan untuk mengelola dan menggerakkan sumber daya pembangunan seperti SDM, anggaran, peralatan, mesin-mesin, dan standar operasional secara efektif dan efisien. Sehingga dengan demikian kepentingan umum tidak terabaikan. Sayangnya tidak semua penguasa mampu secara baik menggunakan instrumen kekuasaannya. Sebagian karena lemahnya kepemimpinan, sebagian karena faktor intregritas. Padahal masyarakat terlanjur menaruh harapan besar kepada penguasa. Ketika harapan tak terpenuhi muncullah ketidakpuasan. Masyarakat terlanjur menganggap semua penguasa itu adalah pemimpin. Padahal tidak semua penguasa adalah pemimpin. Idealnya seorang penguasa adalah juga seorang pemimpin, sehingga mau dengan sabar dan penuh kasih sayang mendengarkan keluhan rakyatnya. Kenneth Blanchard menyebut, pemimpin sejati adalah pemimpin yang memiliki kepemimpinan yang muncul dari dalam hati untuk melayani mereka yang dipimpinnya. Ada kerendahan hati, integritas yang kokoh, daya tahan menghadapi kesulitan dan tantangan, serta visi yang jelas. Baliho tak mencerminkan kepemimpinan sejati. Tentang Penulis : http://drh.chaidir.net