Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Bait Cerita, Sepenggal Kisah

19 Desember 2020   15:37 Diperbarui: 19 Desember 2020   19:40 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bung Amas (Foto Dokpri)

MINIMAL diusia muda kita pernah merangkai cerita. Kisah 'progresif' tentang aktivisme. Atas prinsip mau belajar, di saat mahasiswa pernah diberi amanah menjadi Ketua Umum organisasi intra kampus. Begitu juga dalam kegiatana ekstra kampus. Pernah berkesempatan menjadi Ketua Umum di organisasi Cipayung. Kita tak ketinggalan dalam merespon problem kebangsaan. 

Setelahnya, ketika menjadi jurnalis diberi mandat dipilih memegang jabatan Ketua organisasi profesi Jurnalis Onlie Manado. Semua mengalir sebagaimana biasanya. Kemudian pada pergaulan organisasi kepemudaan, masih mendapat kepercayaan sebagai Sekretaris di KNPI. Kita tak tau besok lusa seperti apa?, biarkan semua langkah mengalir bagai air di sungai. 

Fase sejarah memang dalam keyakinanku selalu memproduksi tatanan sosial yang berbeda. Begitu pula dengan generasi yang dilahirkannya. Setiap orang ada masanya. Setiap masa pun ada orangnya. Tugas kita adalah membenahi diri. Berikhtiar untuk lebih mantap dan matang lagi mengarungi hidup. Sebab, tak ada sehelai daunpun yang jatuh tanpa seizin sang khalik. 

Semua manusia ghalibnya punya takdirnya masing-masing. Usaha disertai doa harus menjadi selimut tidur kita. Bahkan tak sekedar selimut, bisa menjadi 'alas kaki', nafas dan pedoman hidup kita. Satu-satunya kompas hidup ini adalah tunduk bersimpuh mengabdi pada Allah hurabbi. Semua kita punya daya merencanakan. Bercita-cita, lalu melangkah setapak demi setapak mewujudkannya. 

Selebihnya, menjadi kewenangan dan domain Allah SWT untuk memutuskannya. Sang pemilik jagat raya yang menentukannya. Rinai gerimis, terik panas matahri, gelap malam dan tingginya gunung yang kita daki. Itu menambah saldo cerita hidup kita. Jika berakhir baik, juga belum tentu Allah SWT meridhoinya. Karena kadang, ada juga diantara kita yang nakal dan jail. 

Melalui jalan berliku, kadang kita abai dan lalai mengikuti pranata sosial. Ada kalanya kita mengabaikan perintah yang sifatnya religius. Sehingga ridho Allah SWT kian jauh. Memang ridho Allah SWT juga tak dapat diukur dari kesuksesan kita meraih sesuatu. Bila Allah SWT ridho, maka kita akan mendapatkan sesuatu dan bermanfaat bagi diri kita dan orang lain. Ketika tidak, maka kegembiraan berubah menjadi mudharat. 

Apa yang kita capai, dapat berubah menjadi bencana. Itu bertanda Allah SWT murkah. Berarti memberi pelajaran agar kita bermuhasabah. Untuk tidak tinggi hati, tidak jumawa. Tidak pula memandang remeh orang lain. Bagaimana pun kuatnya seseorang, di atas langit masih ada langit. Jabatan, kemewahan kekuasaan dan kekayaan yang kita kejar tak ada yang kekal. Dunia hanya tempat persinggahan kita sementara.

Kenyataan persaingan, menimbah ilmu dan pengalaman memberi kita nilai lebih. Namun, semua itu hanyalah bekal untuk kita kembali pada Tuhan. Kita akan hijrah selamanya, di akhirat, alam kehidupan yang kekal. Jauhkan diri kita dari prasangka. Belajar berbaik sangka. Di usia yang produktif (33 tahun), kita perlu belajar ikhlas. Tentu ikhlas dan bersyukur menerima segala proses membangun karir yang dilalui. 

 Semenjak menjadi aktivis pergerakan mahasiswa, kita dicekoki pelajaran dan pengetahuan ideal normatif. Yang membentuk pikiran kita untuk idealis, menolak kompromi. Melawan segala bentuk penjajahan, dikte dan perbudakan dalam bentuk apapun. Melalui dialektika intelektual, kita diajarkan berfikir rasional. Akhirnya kita mulai terbiasa, akrab dengan nalar sehat, nalar kritis, kemandirian dan 'kenalakan' melawan.

Kita seperti dibimbing, belajar otodidak dan teredukasi untuk berpegang teguh pada prinsip-prinsip perlawanan. Kita tercerahkan, membela masyarakat termarginal, dan melawan pemerintahan yang korup otoriter, juga diskriminatif. Dikala menjadi mahasiswa kita berada dalam lautan yang penuh spirit belajar. Sehingga setiap saat terpicu, tertantang, saling berkompetisi untuk meningkatkan intelektualitas.

Mulai melatih diri untuk mengasah bakat literasi. Membeli buku, membaca buku, berdiskusi dan aksi. Lebih dari itu, sejumlah mentor kita waktu di kampus menitipkan 'dokma' bahwa kuliah tidak wajib. Yang wajib itu menuntut ilmu. Itu sebabnya, tak sedikit kawan kuliah dan para senior-senior saya yang lama kuliahnya. Dibenak kepalanya hanya mencari ilmu. Belum ada kesadaran untuk menyelesaikan studi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun