Mohon tunggu...
Bung Amas
Bung Amas Mohon Tunggu... Jurnalis - Kolektor

Pernah kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unsrat Manado

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menjahit Kebersamaan Saat Virus Corona

31 Mei 2020   17:22 Diperbarui: 1 Juni 2020   07:45 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersama melawan Covid-19 (Foto Google)

Tatanan interaksi global mulai membawa efek di Indonesia. Relatif signifikan. Terutama di saat pandemi Covid-19. Seperti berbicana Covid-19, cara penanganan, kebanyakan kita merujuk ke WHO sebagai Organisasi Kesehatan Dunia. Padahal, secara sederhana WHO punya dapur sendiri. Kita berhak dan layak curiga sebetulnya terhadap WHO ini. Tapi apalah dayanya, pemerintah Indonesia seolah belum punya mental kuat, melawan atau paling tidak jangan mengikuti kiat dan anjuran-anjuran WHO.

Dampak menonjol lainnya, sebelumnya hubungan antar Negara berjalan dinamis dan massif. Di era Covid-19 tidak lagi, kita semua menjadi tidak leluasa. Bandara dan Pelabuhan sebagai sarana interaksi massal menjadi dibatasi. Distop beberapa waktu, begitu ketatnya orang-orang Indonesia akhirnya memilih mengisolasi diri secara mandiri.

Sekarang menjadi berbeda karena Corona Virus (Covid-19). Masyarakat seolah kaku dan tidak pandai lagi bersosial, mungkin karena kelamaan di rumah masing-masing. Bahkan, sebagian masyarakat sampai tak punya kesempatan keluar rumah membeli pisau cukur (alat cukur). Alhasil, kumis dan jenggot mereka rimbun, seperti tidak terurus. Inilah keunikan akibat Covid-19. Semua masyarakat akhirnya mengakrabi masker dan hand sanitizer.

Secara berlahan dampak pandemi Covid-19 merubah kebudayaan kita. Lebih baik untuk hal disiplin kolektif. Dan sedikit mereduksi rasionalitas kita terutama tentang ibadah berjamaah di rumah ibadah. Ada pelarangan untuk aktivitas atau ibadah berjamaah di rumah ibadah, ini cukup rentan protes. Cara pandang dan tindakan masyarakat mulai mengalami perubahan. Bermutasi dari kebudayaan sebelum Covid-19 datang mengganggu ke lingkungan kehidupan pandemi.

Disenangi atau tidak, merasa nyaman atau tidak, kita telah masuk pada era tersebut. Era dimana semua interaksi sosial menjadi lamban. Orang menjadi tidak bebas melakukan aktivitas di ruang-ruang publik. Kontak sosial menjadi dibatasi. Dengan istilah social distancing, bekerja dari rumah sampai tetap di rumah saja mulai menjadi gaya hidup masyarakat.

Kehidupan sosial kita menjadi begitu tertib. Kesadaran masyarakat untuk mengamankan dirinya, mengkonsolidasi diri secara sendiri-sendiri telah dilakukan. Pemerintah otomatis terbantu atas kesadaran itu. Edukasi dan ajakan untuk taat pada protokol kesehatan diintenskan pemerintah, agar target memutus mata rantai penyebaran Covid-19 terlaksana.

Tidak hanya itu, hampir semua geliat itu dilakukan atas nama kemanusiaan. Menjadikan Covid-19 sebagai common enemy. Di tengah menopang kekuatan pemerintah dalam melawan atau berdampingan dengan Covid-19, maka konsekuensi anggaran menjadi penting diatur. Pemerintah harus punya stok dan cadangan anggaran yang memadai untuk urusan menyelesaikan Covid-19 ini. Jangan malah terlihat pasrah, padahal uang yang dimiliki Negara tidak sedikit.

Sumber daya Negara yang begitu berkelimpahan harus terkelola dengan baik, dimanfaatkan untuk masyarakat. Wabah Covid-19 harus diberantas, bukan dibiarkan dengan alasan virus ini tak akan berakhir. Rasanya tidak tepat kalau pemerintah menerapkan new normal dengan catatan apapun. Paling utama dilakukan pemerintah adalah menciptakan kepastian kepada masyarakatnya, bahwa Covid-19 telah diberantas pemerintah.

Apa gunanya uang rakyat yang sebasarannya Triliunan rupiah untuk direlokasikan dalam rangka menghentikan penyebaran Covid-19 sekaligus memulihkan pasien positif Covid-19 ditata. Anggaran untuk pemulihan situasi juga belum dikucurkan, malah Pilkada mau diselenggarakan 9 Desember 2020. Sungguh sangat memprihatinkan. Kebijakan yang tidak wajar, dimana rakyat yang gelisah karena Covid-19, malah pemerintah (Mendagri, DPR dan KPU) begitu bergelora melaksanakan Pilkada Serentak.

Kebisingan dari sikap tersebut dapat disebut sebagau sebuah kegilaan buatan. Mereka elit pemangku kepentingan berpura-pura gila untuk menghadapi situasi ancaman Covid-19 saat ini. Kenyataan yang ada tidak memungkinkan Pilkada dihelat, namun mereka kompak seperti menyanyikan paduan suara untuk mendukung Pilkada dilaksanakan 2020 ini. Spirit Pilkada digelar disaat Covid-19 hanyalah gambaran dari sebuah pretensi.

Para elit seperti terpapar penyakit tuna empati. Dimana masyarakat yang terkena serangan Covid-19, terancam kesehatannya, akan menghadapi situasi kelaparan karena tak memiliki pendapatan yang jelas, instansi berkompeten malah sibuk mengatur Pilkada. Makin tidak fokuslah pemimpin kita dalam memperkuat visi membangun Indonesia dan memulihkan Indonesia dari sakit. Indonesia sedang sakit karena dilanda prahara Covid-19, itu riil adanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun