Permasalahan pupuk subsidi masih menjadi isu serius dalam dunia pertanian di Indonesia. Persoalan pupuk tidak hanya masalah ekonomi petani, tetapi juga menyangkut ketahanan pangan nasional. Permasalahan ini kurang mendapatkan pengawasan terhadap distribusi pupuk subsidi, sehingga banyak keuntungan yang diperoleh oleh beberapa kios yang menjual pupuk di luar ketentuan dan pupuk disalurkan pada pihak yang tidak berhak. Akibatnya, petani terpaksa membeli pupuk non-subsidi dengan harga lebih mahal yang membuat biaya produksi lebih tinggi daripada keuntungan panennya, bahkan sebagian petani gagal panen karena kekurangan pupuk.
Kasus terbaru di Situbondo, sebagaimana diberitakan dalam artikel “KP3 Situbondo Cabut Izin Dua Kios Pupuk yang Langgar Mekanisme Distribusi” (berita.situbondokab), menunjukkan bahwa adanya penyalahgunaan distribusi pupuk oleh kios yang tidak sesuai mekanisme resmi dikenakan sanksi tegas berupa pencabutan izin terhadap kios pupuk yang terbukti melanggar mekanisme distribusi pupuk subsidi pemerintah. Sanksi tegas ini diberikan kepada kios yang melakukan kecurangan terhadap distribusi pupuk subsidi untuk memberikan efek jera bagi kios yang semena-mena.
Contoh nyata juga terjadi di Kabupaten Jember. Berdasarkan artikel “Selundupkan Pupuk Subsidi 3 Ton, 2 Pria di Jember” (detikJatim), menyatakan bahwa pada tahun 2025, Polres Jember berhasil menggagalkan upaya penyelundupan sebanyak 3 ton pupuk subsidi jenis Phonska yang dikirim dari wilayah Sumbersari ke Umbulsari, jauh di luar area yang seharusnya menerima pupuk tersebut. Pelaku diduga mengalihkan kuota pupuk yang semestinya menyasar 9 kelompok tani di Sumbersari agar bisa diperjualbelikan ke tempat lain dengan harga di atas ketentuan. Kasus ini memperlihatkan bahwa masalah pupuk subsidi bukan hanya di Situbondo, tetapi juga meluas hingga Jember dan wilayah lain.
Sistem Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) bertujuan untuk menjamin ketepatan sasaran penyaluran bantuan subsidi, dengan persyaratan petani harus memiliki e-KTP, melakukan usaha tani, dan tergabung dalam kelompok tani. Sistem distribusi berbasis e-RDKK yang transparan bisa meminimalisir kecurangan. Pemerintah juga perlu memperketat pengawasan distribusi dengan melibatkan aparat desa, kelompok tani, dan edukasi petani tentang penggunaan pupuk organik juga dapat menjadi solusi jangka panjang.
Permasalahan pupuk subsidi yang terjadi di Situbondo dan Jember mencerminkan betapa rapuhnya sistem distribusi pupuk di Indonesia. Penyalahgunaan mekanisme, lemahnya pengawasan, dan ketergantungan petani pada pupuk kimia menjadi akar masalah utama. Jika tidak segera diperbaiki, petani akan terus dirugikan dan ketahanan pangan nasional terancam. Oleh karena itu, pengawasan yang lebih ketat, digitalisasi distribusi, serta pengembangan alternatif pupuk menjadi langkah penting untuk menyelesaikan masalah pertanian di Indonesia.
Referensi
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI