Beberapa hari lalu, sebuah video muncul di lini masa saya: aliran sungai di Citeureup, Bogor, warnanya berubah jadi oranye terang. Awalnya saya kira editan, tapi ternyata itu nyata. Seketika saya teringat, betapa sungai di sekitar kita sering kali menjadi "korban diam" dari aktivitas industri.
Air anak Sungai Citeureup di Desa Tarikolot mendadak viral pada pertengahan Mei 2025. Menurut laporan Detikcom, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bogor menemukan indikasi bahwa perubahan warna ini berasal dari limbah cat bubuk milik sebuah pabrik. Outlet pembuangan langsung disegel, saluran ditutup dengan metode grouting, dan sampel air dibawa ke laboratorium. Kepala DLH menegaskan, jika terbukti melanggar, perusahaan bisa dijerat sanksi administratif hingga pidana lingkungan.
Kasus seperti ini bukan pertama kali. Tempo pernah menulis, sungai-sungai besar di Indonesia-Citarum, Bengawan Solo, Brantas-sudah lama menjadi saksi bisu pencemaran. Air berubah warna, berbau menyengat, dan tentu saja, membahayakan kesehatan. Paparan limbah bisa menyebabkan iritasi, gangguan pernapasan, bahkan kanker jika terus menumpuk.
Sayangnya, pola ini terus berulang. Di Tangerang, Kali Cirarab hitam pekat dengan kandungan logam berat lima kali lipat di atas ambang batas. Di Banten, Sungai Ciujung tercemar oleh puluhan perusahaan hingga mengganggu hidup ratusan ribu warga. Di Bogor sendiri, Sungai Cileungsi berulang kali berbusa hitam akibat limbah lebih dari 90 pabrik, sampai pasokan air PDAM pun ikut tercemar.
Akar masalahnya sebetulnya klasik: pengawasan yang masih lemah, penegakan hukum yang belum tegas, dan kepatuhan industri yang rendah. Padahal regulasi sudah ada, bahkan semakin ketat. Peraturan Menteri LHK No. 14 Tahun 2024 memberi kewenangan pengawasan berlapis serta denda hingga Rp 3 miliar. UU No. 32 Tahun 2009 memungkinkan sanksi pidana belasan tahun penjara dengan denda miliaran rupiah. Namun, aturan itu sering kali hanya terdengar tegas di atas kertas.
Yang membuat saya miris adalah kenyataan bahwa kita sering tahu masalahnya, tapi solusi tak kunjung dijalankan dengan sungguh-sungguh. Sungai terus jadi korban, sementara industri terkadang memandang denda sebagai biaya operasional, bukan peringatan.
Kasus Citeureup ini mestinya menjadi alarm keras. Sungai bukan sekadar aliran air yang lewat di depan rumah, tapi sumber kehidupan- untuk minum, bercocok tanam, sampai menjaga ekosistem. Kalau kita masih membiarkan sungai berubah warna, pertanyaannya sederhana: apakah kita rela menunggu sampai warna sungai kita tidak lagi oranye, hitam, atau berbusa, tapi justru menjadi simbol dari hilangnya kepedulian kita?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI