Mohon tunggu...
Dahono Prasetyo
Dahono Prasetyo Mohon Tunggu... Penulis - Juru Ketik Apa Saja Tentang NKRI

Bencana dan keberuntungan sama saja

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Film "Kleang Kabur Kanginan", Kisah Kesenjangan "Sinyal" Sosial Desa dan Kota

22 September 2020   00:23 Diperbarui: 22 September 2020   12:19 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Ini film sebenarnya bertema sederhana tetapi pesan yang diinginkan lumayan sampai ke pemahaman penonton, minimalnya itu. Bahwa media komunikasi di peradaban milenial menjadi layaknya kebutuhan pokok yang tersedia di warung kelontong atau kemanapun kaki melangkah. 

Namun pada sebagian kelas di masyarakat masih menjadi barang mewah, entah karena persoalan ketersediaannya maupun tentang menyatukan 2 arah kepentingan penggunanya. Komunikasi menjadi efektif saat jarak dan kepentingan pengguna saling tersambung.

Film berjudul "Kleang, Kabur Kanginan" ini menceritakan hubungan harmonis satu keluarga kecil yang terhalang persoalan sarana komunikasi jarak jauh. Sinyal seluler diibaratkan  angin yang bisa menerbangkan atau membawa apa saja.

Begitu pula kabar datang dan pergi bisa tergantung arah angin yang membawanya. Inilah misi filosofis yang penulis pahami di film pendek berdurasi 22 menit itu.

Bagi masyarakat pedesaan, menunggu kabar dari kota adalah persoalan kesabaran. Minimnya sarana komunikasi di desa menjadi kabar tentang kesenjangan sosial yang belum selesai teratasi hingga saat ini.

Dan masyarakat pedesaan gudangnya jago-jago dalam hal bersabar karena itulah ajaran filosofi yang ditanamkan turun temurun. Panjangnya kesabaran menunggu kesetaraan warga desa, kadang iri dengan situasi perkotaan yang serba cepat. Barangkali itu alasan warga desa yang lemah kesabarannya, mesti pergi ke kota.

Teguh, seorang lelaki produk kesabaran kultur pedesaan sudah berada jauh dari desanya. Kedua orang tuanya dengan sabar menunggu kabar dari anak semata wayang. Meski sarana komunikasi sang ayah di desa disimbolkan HP jadul yang susah mendapatkan sinyal, namun bukan itu yang menarik diulas.

Kerinduan ayah dan ibu pada Teguh terhalang minimnya sinyal komunikasi. Dalam harap harap cemas, hadirnya sinyal seluler menjadi sebuah kemewahan tersendiri bagi mereka berdua. Berbanding terbalik pada sang anak nun jauh di sana dengan kemudahan sinyal yang bukan lagi menjadi barang mewah.

Penulis cerita film ini cukup jeli membidik dua kepentingan berbeda namun menggunakan sarana yang sama. Dinamika perkotaan tak jarang bisa membuat orang melupakan kesenjangan sarana komunikasi yang masih terjadi di pedesaan.

Realitanya sedang terjadi juga saat masa pandemi ini. Pembelajaran sistem online menggunakan sarana komunikasi virtual menjadi produk perkotaan yang masih bermasalah dengan kondisi pedesaan. Solusi di perkotaan belum tentu solutif di desa.

Keterbatasan jangkauan sinyal online di desa semakin memperburuk situasi. Sesekali membayangkan pemukiman desa yang berjauhan, menjadi berdekatan saat mereka berkumpul di sekolah, kini justru sedang dipisahkan. Teknologi yang katanya menjadi mendekatkan, hanya karena sarana belum memadai, justru menjadi pemisah kedekatan alamiah mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun