Mohon tunggu...
Budiman Hakim
Budiman Hakim Mohon Tunggu... Administrasi - Begitulah kira-kira

When haters attack you in social media, ignore them! ignorance is more hurt than response.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Kerjanya Cuma Pencitraan

9 November 2017   21:41 Diperbarui: 9 November 2017   22:48 2886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(ANTARA FOTO/Septianda Perdana)

Kalo belajar ilmu marketing atau advertising, kita akan menemukan istilah Image building. Image building adalah salah satu faktor dalam proses membangun brand atau yang biasa disebut dengan brand building. Nah, image building penting sekali dalam proses brand building. Gak ada konotasi negatif dalam istilah itu bahkan merupakan sebuah proses yang mutlak harus dilakukan.  

Misalnya jika kita ingin menjual brand rokok, kita harus membuat personifikasinya dalam bentuk manusia. Artinya jika brand tersebut adalah manusia, dia akan jadi siapa? Berapa umurnya? di mana tinggalnya, seberapa tinggi pendidikan dan strata sosial ekonominya, bagaimana lifestylenya dan lain-lain. Proses membangun brand tersebut sangat njlimet sampai-sampai seringkali kita harus melakukan riset yang cukup mendalam untuk membangun imagenya, karena kita juga harus mengkaitkan semua hal tersebut dengan insight konsumen yang kita tuju.

Itu sebabnya, setiap kali melihat kampanye iklan brand rokok, kita akan menemukan identitas yang berbeda-beda. Brand Marlboro adalah cowboy yang tentu saja sangat macho. Brand Djarum super adalah tokoh modern yang suka berpetualang. Brand A Mild adalah orang yang suka hang out tapi juga memikirkan kesehatannya, brand Djarum Black adalah tokoh yang cenderung misterius tapi kecerdasannya luar biasa.

Image setiap brand harus dicari diferensiasinya agar terlihat unik dan outstanding. Kenapa? Karena setiap diferensiasi mempunyai ceruk pasarnya sendiri-sendiri. Hal paling penting yang harus diperhatikan adalah tokoh personifikasinya. Tokoh ini harus dibuat sempurna agar konsumen jatuh cinta dan juga akan mengaktualisasikan dirinya sebagai tokoh yang kita ciptakan itu. Ketika konsumen sudah jatuh cinta pastinya akan diikuti dengan brand loyalty dan berujung pada peningkatan sales.

Buat saya 'image building' adalah istilah yang keren dan mudah dimengerti. Tapi karena Sumpah Pemuda sudah terlanjur diucapkan, maka tentu saja kita harus mencintai bahasa Indonesia. Image building akhirnya diterjemahkan dengan istilah 'pencitraan'. Sampe di titik ini, saya juga masih gak punya masalah dengan terminologi 'pencitraan'.  Secara bunyi dan makna terdengar pas dan masih terasa positif di kepala saya.

Sayangnya ketika istilah pencitraan dipakai oleh para politisi, sekonyong-konyong maknanya berubah menjadi negatif. Perlu diketahui bahwa politik adalah perang opini. Bahkan setiap partai sampe mempunyai divisi khusus Bidang Media dan Penggalangan Opini. Mereka berusaha membangun brand partainya dan membangun personal brand pemimpin partainya setinggi mungkin. Yah namanya juga mau jadi presiden gitu loh....

Perang opini ini dipersenjatai juga dengan lembaga-lembaga riset bayaran lalu hasilnya diviralkan ke pelosok negeri. Pokoknya jangan sampai tokoh lawan mempunyai nama yang lebih harum. Kalo hal itu sampe terjadi akan sangat berpengaruh pada tingkat elektabilitas yang tentunya akan membuat kesempatan calon pemimpin lainnya menjadi semakin jauh dari kedudukan yang diincarnya.

Kalo brand lawan ternyata lebih bersinar maka team penggalangan opini itu tidak segan-segan menjatuhkan lawannya dengan cara tak terpuji. Mereka mulai memfitnah, membuat berita hoax, menggunakan isu sara, pokoknya apapun dilakukan hanya untuk satu tujuan semata, 'Jatuhkan brand lawan sehancur mungkin.' Kalo perlu, adu domba rakyat, kalo perlu bikin perang saudara di akar rumput, apa kata orang, sebodo amat! Buat para politisi tidak ada cara yang haram dalam berpolitik dan mengejar kekuasaan.

Sekarang kita bisa memahami kenapa setiap kali Jokowi blusukan, ada aja yang mencibir, "Ah pencitraan tuh!" Jokowi naik motor trail di Papua, ada lagi yang nyinyir, "Ah pencitraan tuh." Ketika Jokowi jalan kaki gara-gara kena macet pas mau menghadiri hari ulang tahun TNI, lagi-lagi ada yang nyindir, "Ah pencitraan tuh." Pokoknya apapun kebaikan yang dilakukan oleh Jokowi harus diputarbalikkan. Pokoknya harus dibangun opini bahwa Jokowi kerjanya cuma pencitraan.

Gila ya! Para politisi bukan saja bikin pusing rakyat karena perbuatannya tapi juga telah merusak bahasa. Kata pencitraan yang sangat positif dalam proses membangun brand, tiba-tiba maknanya berbalik 180 drajat menjadi sangat negatif. Kata 'pencitraan' yang sebenernya merupakan padanan yang tepat untuk kata 'image bulding' mendadak berhianat dan menjadi antonim dari kata induknya. Dan semua itu gara-gara para politisi yang telah menggunakannya secara salah kaprah.

Jadi jangan heran jika orang marketing dan orang advertising sampe saat ini masih menggunakan kata image building. Mereka gak mau makna negatif dari kata 'pencitraan' meracuni proses membangun brand yang sedang mereka kerjakan. Coba bayangin ketika sedang menciptakan brand baru lalu seseorang berkata, "Sekarang kita harus bikin pencitraan buat brand kita, nih." Negatif banget kan kedengarannya?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun