Kakak ipar saya, Reno, udah 10 taon tinggal di Belanda. Saya sendiri baru ketemu dia sekarang karena waktu saya menikah dia juga ga dateng. Jadinya dia juga belom pernah ketemu sama Leon, anak saya yang sulung. Mungkin merasa ga enak sama kami, maka pas kelahiran anak kedua, Reno menyempatkan diri dateng ke Jakarta dan ikut menunggui isteri saya di Rumah Sakit.
Tanpa banyak kesulitan anak kedua saya pun lahir. Laki-laki lagi, namanya Reo. Alhamdulillah. Reno girang banget dapet ponakan baru lagi. Setelah selesai mengadzani si orok, Reno langsung nyamperin saya yang sedang asik menggendong keponakan keduanya.
“Bud, gue boleh gendong ga?” pintanya.
“Boleh dong.” sahut saya sambil menyerahkan bayi ke tangannya.
Dengan hati-hati dia menggendong bayi yang usianya belom ada satu jam itu. Ngeliat ponakannya tidur dan keliatan sedikit gelisah, Reno langsung berkomentar, “Wah anak lo masih jetlag nih, Bud.”
“Hehehehe…kok tau dia jetlag.” Saya mencoba menimpali komentarnya.
“Ya pastilah jetlag. Gue yang dari Armsterdam aja jetlag, apalagi dia yang dari alam lain.”
Wah bener juga logikanya ya? Hahahahaha…Saya suka kagum sama orang yang bisa kepikiran logika yang aneh-aneh.
Ketika Vina udah sadar dan kembali dari kamar operasi, Reno bertanya ke adiknya yang masih terbaring di tempat tidur, “Vin, lo ngelahirinnya manual apa matic?”
Hahahahahaha… semua orang ketawa ngedenger pertanyaan Reno, termasuk suster-suster yang berada di ruangan. Tentu aja kami semua ngerti pertanyaan itu. Reno cuma mau tau apakah Vina melahirkan dengan cara normal atau caesar.
Kocak banget kan omongannya? Jarang loh ada orang yang mempunyai kemampuan kayak gitu, padahal menarik sekali buat yang ngedengernya? Dengan memilih sebuah kata yang ga umum lalu meletakkannya dalam sebuah konteks, maka kata itu tetap mudah dimengerti. Nah dengan cara itu, tanpa disadari kita udah memiliki kemampuan untuk memaknai sendiri sebuah kata yang ingin diucapkan.
Kemampuan mempermainkan kata memang perlu dilatih, terutama bagi mereka yang ingin jadi penulis handal. Kalo mau tulisan kita jadi unik, maka kemampuan mengekspresikan diri dengan menggunakan kata-kata ga umum, perlu kita kuasai dengan baik. Dengan memilih kata yang tidak biasa, selain penyampaian kalimat kita akan terlihat cerdas, efek yang ditimbulkan pun akan terasa lebih kaya dan bersayap. Dan akhirnya bisa lebih memperkaya makna sebuah kata.
Penggunaaan kata yang ga disangka-sangka akan memberi ciri khas pada tulisan kita. Sebuah tulisan ga akan pernah menarik kalo kita ngikutin gaya penulis orang lain. Ga peduli seterkenal apapun orang itu. Gaya tulisan akan terbentuk hanya kalo kita menjadi diri sendiri dan menulis dengan karakter kita sendiri.
Logika-logika aneh yang digunakan Reno sering mengingatkan saya pada Komeng. Pasti kalian pernah ngeliat pelawak Komeng di Televisi kan? Saya suka banget sama Komeng. Kenapa? Karena kalo ngomong, dia suka asal jeplak dan ngelantur ke mana-mana. Ngelanturnya sangat ga disangka-sangka sehingga menyebabkan banyak kelucuan.
Di acara ‘Saatnya Kita Sahur’ yang ditayangkan Trans TV, Komeng sering membuat saya terbahak-bahak. Misalnya waktu itu ada adegan Komeng lagi membuat sebuah keris. Keris itu ditempa lalu dimasukin ke dalam air supaya dingin. Ga lama kemudian Adul dateng dan menyapa Komeng.
“Wah lagi bikin keris ya?” tanya Adul.
“Iya. Saya kan seorang Empu.” sahut Komeng dengan suara khasnya itu.
“Oh Bapak Empu Gandring ya?” tanya Adul lagi.
“Bukan. Saya bukan Empu Gandring.”
“Jadi Empu siapa?”
“Empulangnya jangan malam-malam ya.” sahut Komeng ga disangka-sangka. Hahahahahaha…! Semua penonton ngakak bahkan termasuk Adulnya pun ga kuat menahan tawa.
Buat saya omongan orang yang ngelantur sangat inspiratif. Saya seneng banget kalo punya temen yang ngomongnya suka ngelantur. Apalagi kalo temen kita itu orang iklan juga wah..paling enak tuh brainstorming sama orang kayak gitu. Biasanya ide-ide langsung mengucur deras begitu saja seperti air yang ke luar dari kran.
Misalnya obrolan setelah makan siang di MACS909. Di kantor kami ada sebuah ruangan besar yang dikasih nama Common Area. Ruangan itu biasa digunakan untuk makan siang, brainstorming dan merokok. Common area adalah satu-satunya ruangan tempat orang boleh merokok. Itu sebabnya banyak staff yang lebih nyaman nongkrong di sana daripada di mejanya sendiri.
Saat itu temen-temen lagi pada ngegosip tentang siapa aja selebritis yang homoseksual. Topik ini muncul gara-gara salah seorang staff beli buku ‘The Untold Story of Ryan.’ Di buku itu, Si pembunuh berantai bercerita panjang lebar mengemukakan siapa aja selebriti pria yang pernah kencan dengannya.
Mereka adalah Asep, Adhi, Toni, Santi dan saya. Saya sendiri lebih banyak berperan sebagai pendengar. Kalo saya ikutan ngomong kadang saya lupa lagi apa yang sedang diomongin. Maklum saya suka banget jadi pengamat dan mencatat kalo-kalo ada kalimat yang lucu atau topik-topik yang seru.
Setelah gosip tentang homoseksual selesai, percakapan mulai masuk ke wilayah personal. Mereka mulai membandingkan dirinya dengan kelakuan para selebritis tadi. Biasalah mereka bercanda saling mengejek satu sama lain.
“Denger-denger Lo homo juga ya Ton?” tuduh Asep asal njeplak menuduh Toni.
“Enak aje lu! Siapa yang bilang gue homo?” Toni yang selalu serius menghadapi segala hal tentu saja langsung belingsatan dan menyangkal dengan nada kesal.
“Ada yang ngomong, katanya lo homo. Dan Santi lesbi.” serang Asep lagi.
“Gue lesbi? Ancur banget tuh gosip.” Berbeda dengan Toni, Santi menanggapi omongan Asep dengan kalem.
“Kalo gue digosipin apa?” Adhi malah menantang Asep.
Asep memandang Adhi dari kepala sampai ke ujung kaki. Sambil menggelengkan kepalanya, Asep berkata, “Apa yang mau digosipin dari elo?”
“Berarti gue pinter nyembunyiin rahasia ya?” kata Adhi.
“Emang lo punya rahasia apa?” tanya Santi.
“Gue bisex!” sahut Adhi dengan suara mantap.
“Hah? Serius lu?” Hampir berbarengan semua orang bertanya.
“Gue kira lo cuma meteroseksual doang?” timpal Santi.
“Gue bisex soalnya gue bisa ML sama perawan dan bisa ML juga sama janda.” kata Adhi lagi.
“Huahahahahahahahahahahaha…!” Meledaklah tawa semua orang.
“Pada dasarnya semua orang itu terlahir bisex loh. Cuma apakah dia jadi bisex beneran atau ngga tergantung individunya sendiri.” Asep mulai berteori.
“Nah kembali ke soal Toni. Gue jamin dia ga homo. Gosip itu fitnah.” kata Adhi melanjutkan celotehnya.
“Alhamdulillah. Terimakasih Dhi.” Bukan main bersyukurnya Toni merasa terselamatkan oleh ucapannya Adhi.
“Yang bener Toni itu juga bisex.” kata Adhi lagi.
“Huahahaha alhamdulillah. Jadi gue bisex sama kayak elo ya?” Toni udah mulai bisa becanda lagi.
“Lain dong. Kalo gue kan bisex karena bisa ML sama perawan dan janda…” Adhi sengaja memutus kalimatnya untuk memancing rasa penasaran temannya.
“Kalo gue bisex gimana?” Toni ga tahan untuk ga bertanya.
“Kalo elo kan bisexnya; bisa ML sama sapi tapi bisa juga sama kambing. Huahahahahahaha…! sahut Adhi penuh kemenangan.
“Huahahahahahahahahahahahaha…” Yang lain ikut tertawa terpingkal-pingkal.
“GA LUCU!!!!” kata Si Serius ngambek lagi.
“Hihihihihi… gapapa Ton. Siapa tau lo diajak jadi model iklan sama XL.” kata Santi tertawa terkikik-kikik lalu melanjutkan, “tapi lo harus bisa kawin sama monyet juga kayak di iklannya hihihihihihihi…”
“Kampungan lo semua!” Si Serius kembali ngambek.
Ngeliat reaksi Toni, Adhi dengan cepat beralih mencari korban lain, “Kalo Santi tuh baru monogami.”
“Maksud lo monogami?” tanya Santi.
“Lo tipe perempuan penganut faham satu pasangan.” jelas Adhi.
“Sok tau lu Dhi. Tau darimana gue monogami?”
“Lo monogami karena cuma bisa ML sama kambing doang….hahahahahaha.” ngakak lagi Adhi dengan penuh kemenangan.
“Huahahahahahaha ga doyan sapi ya???” tanya Toni, seneng banget karena sekarang bukan dia yang jadi bulan-bulanan.
“Hihihihihihihi sampe ke luar air mata nih gue ketawa. Tadi digosipin lesbi, sekarang dibilang monogami sama kambing hihihihi….” Santi sama sekali ga terganggu dengan lelucon itu bahkan dia terus terpingkal-pingkal ga bisa berenti.
“Karena lo lesbi, berarti lo harus nyari kambing yang lesbi juga?” kata Adhi seolah ga pernah abis dengan serangannya.
“Huahahahahahahahaha…” Suara tawa hampir ga pernah putus.
“Emang ada kambing yang lesbi?” tanya Toni polos.
Semuanya terdiam berusaha mencerna kalimat aneh dari Toni, sampai akhirnya saya nyeletuk, “Itu pertanyaan paling tolol yang pernah gue denger selama hidup.”
“Iya bener. Gue bedain kambing jantan dan betina aja ga bisa. Apalagi nyari kambing perempuan yang lesbi….” Asep nyeletuk.
Tanpa disangka-sangka sekonyong-konyong Santi mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan
“Gue bisa bedain mana kambing yang lesbi.” katanya.
“HAAAAAHH???????? Kok lo bisa tau?” tanya Toni dengan penuh harap.
“Ya kan gue lesbi, sesama lesbi pastilah bisa ngebedainnya.” sahut Santi lagi.
“Gimana caranya?” tanya Toni lagi penasaran.
“Kalo kambing betinanya pake jaket item dan rambutnya cepak, kelaki-lakian nah pasti itu kambing lesbi.” sahut Santi.
“Huahahahahahahahaha….” Pecah lagi ketawa orang-orang yang kurang kerjaan itu.
“Tapi penting banget tuh mengetahui mana kambing yang lesbi apa bukan?” Asep kembali berteori.
“Penting kenapa Sep?” tanpa terasa Santi bertanya.
“Gue rasa kambing yang lesbi itu ga boleh dijadikan hewan kurban.” Asep menjawab.
“Kenapa ga boleh? Apa hubungannya?” Adhi ikut penasaran.
“Dia kan lesbi. Masa kambing lesbi kita sumbang sebagai hewan kurban?” kata Asep lagi.
“Emang kenapa kalo dijadiin hewan kurban?”
“Sex sesama jenis kan dilarang dalam islam. Ntar yang makan ketularan dosa dari kambing lesbi itu. Hayo gimana?”
“Halah sok tau lu Sep. Kan ga ada hukumnya di Quran dan hadist.” Toni ga percaya.
“Nah itu dia. Mungkin kita perlu nanya sama kyai, ustad atau siapa ajalah yang pinter soal agama.” Asep menyahut.
Semua diem. Ga ada yang ngomong dan semua berpikir.
“Kita nanyanya gimana sama kyai itu?” Adhi mulai menemukan masalah.
“Iya Sep. Masa kita nanya ‘Pak Kyai, boleh ga kita menyumbang hewan kurban berupa kambing yang lesbi?’” kata Toni.
“Huahahahahahahahaha….!” Crowd kembali ngakak abis.
“Kyainya pasti bingung tuh.” komentar Adhi.
“Pasti! Terus dia nanya ‘Emang ada kambing yang lesbi?’” kata Toni lagi.
“Bilang aja ada. Kalo ditanya gimana bedainnya, ya Santi yang harus maju.” usul Asep.
“Enak aja lo? Kok gue dibawa-bawa? Yang pertama ngomong soal kambing siapa?” kata Santi sewot.
“Gue yang pertama. Tapi elo kan yang pertama nyebut kambing lesbi.” serang Adhi.
“Apes banget nasib gue. Pertama digosipin lesbi. Kedua disuruh lesbianan sama kambing. Ketiga disuruh bedain kambing lesbi ke kyai….” keluh Santi.
“Ya udah. Ga usah kita tanya sama Kyai. Pokoknya pas lebaran haji nanti, kita semua jangan membeli kambing yang lesbi.” kata Asep lagi.
“Bener-bener. Pamali tuh.” sahut yang lainnya.
“Kita pisahin aja. Kambing yang heteroseksual kita jadiin kurban. Kambing yang lesbi kita jual ke pedagang sop dan kaki kambing.” Adhi memberi usul.
“Wah ide bagus tuh….” Toni menimpali dengan serius.
“Bener banget! Dan bagus juga buat pedagang kaki kambingnya.” kata Asep si ahli teori tentang brand.
“Bagus kenapa Sep?” tanya Santi ga nangkep maksud temannya.
“Pedagang itu jadinya punya diferensiasi. Dia bisa bikin positioning baru yang sangat outstanding. Brandnya bisa jadi top of mind.” jelas Asep.
“Gimana sih maksud lo?” Adhi belom ngerti juga.
“Biasanya pedagang sop kan nulis di tendanya ‘Sedia Sop dan Sate Kambing Muda.’ Iya kan?”
“Lalu?????” Crowd bertanya.
“Pedagang yang beli kambing lesbi bisa nulis di tendanya dengan huruf besar “SEDIA SOP DAN SATE KAMBING LESBI”
“Huahahahahahahahahahah ANCUR!!!!!!!!
Inspiring banget kan? Kalo kita mau sedikit lebih peka, rasanya cukup banyak ide terselip di sana-sini dalam percakapan ga penting di atas. Sayangnya, percakapan kayak gitu udah jarang banget terjadi. Dan saya sangat merindukan bisa hadir dalam percakapan-percakapan ngawur seperti di atas.
Sekarang ini, jarang yang ngomongnya ngelantur kayak gitu. Kebanyakan mereka ngomongnya lurus-lurus aja sehingga terasa hambar di telinga. Mereka selalu ngomongin kerjaan melulu. Ga peduli lagi ada di mana dan lagi acara apa, topiknya kerjaan dan kerjaan lagi. Muak lama-lama dengernya. Kayaknya semua orang udah begitu terperangkap dalam dunianya sendiri. Mereka setiap hari bergaul sama orang kantornya, bacaannya buku-buku tentang bidang pekerjaannya dan semua topik selalu dihubungkan sama kerjaan yang mereka tekuni..
Saya sering menasihati anak-anak saya di kantor untuk sesekali melupakan periklanan. Coba deh melakukan sesuatu di luar periklanan. Main band kek, naik gunung kek, kursus bikin keramik kek, bikin buku kek, pokoknya lakukan sesuatu di luar iklan. Periklanan itu adalah sebuah lingkaran, sedangkan ide-ide ada di luar lingkaran itu. Makanya kita perlu ke luar dari lingkaran, memetik ide-ide segar lalu membawanya ke dalam lingkaran periklanan. Percaya deh. Kita ga bisa menemukan ide besar kalo kita ga pernah ke luar dari tempurung yang namanya dunia periklanan. Hidup ini terlalu berharga untuk diisi hanya dengan periklanan saja.
Jadi sebagai akhir kata: Selamat ngelantur!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI