Mohon tunggu...
Budiman Hakim
Budiman Hakim Mohon Tunggu... Administrasi - Begitulah kira-kira

When haters attack you in social media, ignore them! ignorance is more hurt than response.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dosen saya Sapardi Djoko Damono.

8 Oktober 2009   05:59 Diperbarui: 3 Agustus 2016   02:48 2792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejak kecil saya suka banget sama puisi. Cukup banyak puisi yang saya ciptakan. Bahkan beberapa yang saya anggap bagus saya kirim ke berbagai majalah dan Koran. Hasilnya? Luar biasa! Ga ada satupun yang pernah dimuat. Akhirnya saya menyimpulkan bahwa kecintaan saya terhadap puisi ternyata cuma bertepuk sebelah tangan.


Sayangnya ketika kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, saya ketemu seorang dosen yang seorang penyair juga. Namanya Sapardi Djoko Damono. Gara2 ketemu dia kecintaan saya pada puisi yang sempat padam tiba2 kembali membara. Apalagi sapardi ini sangat dekat dengan mahasiswanya. Satu2nya guru/dosen yang saya masih bisa bertemen setelah sarjana ya cuma sama Sapardi ini.

 

Sejak kecil saya sering membaca puisi-puisinya. Berbeda dengan puisi-puisi penyair lain yang susah dimengerti, karya2 SDD (panggilan sayang mahasiswa2nya) lebih membumi. Simbol2nya juga ga terlalu banyak. Paling satu atau dua symbol. Topik yang dipilih pun juga simple2 aja. Saya ga pernah bosan baca puisi2 beliau padahal saya udah hapal di luar kepala. Ini salah satu puisi SDD yang saya suka

 

 

Berjalan ke barat di waktu pagi hari

 

Waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi

Matahari mengikutiku di belakang

Aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri

Yang memanjang di depan

 

Aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami

Yang telah menciptakan bayang-bayang

Aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami

Yang harus berjalan di depan

 

Bagus banget ya? Setiap kali berangkat kuliah saya selalu ngeliat bayang2 saya di trotoar yang memanjang di depan tapi sama sekali ga memicu ruang kreatif di benak saya. Tapi untuk SDD ternyata lain. Begawan puisi ini langsung merekam adegan itu dalam bentuk puisi dan terciptalah karya yang sarat makna ini.

 

 

Adalagi satu puisinya yang juga saya suka banget. Kelebihan dari puisi ini adalah bagaimana SDD menyentuh insight pembacanya. Puisi ini dikemas dengan sederhana dan kita dapat memahaminya tanpa mengerutkan dahi.

 

 

MAKA PADA SUATU PAGI HARI

 

Maka pada suatu pagi hari dia ingin sekali

menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu

Dia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik

dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja

sambil menangis dan tak ada orang bertanya ‘Kenapa?’

 

Dia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk

memecahkan cermin, membakar tempat tidur

dia hanya ingin menangis lirih saja

sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi.

Pada suatu pagi.

 

Puisi ini membuktikan bahwa sebuah puisi ga harus ribet. Kan ada sementara orang yang menganggap bahwa semakin susah dimengerti maka semakin baguslah puisi itu. Lihatlah puisi SDD di atas. Sederhana banget tapi mengena. Kenapa mengena? Siapakah manusia di dunia ini yang ga pernah mendadak moodnya berubah mellow kayak tokoh di atas? Pasti semuanya pernah mengalami kan? Nah SDD mengabadikannya untuk bahan renungan buat kita semua.

 

Walaupun keliatannya cuek? Diam-diam SDD sangat memperhatikan mantan-mantan mahasiswanya. Dia keheranan mengapa banyak mahasiswanya yang terjun ke periklanan. Udah capek2 belajar sastra kok malah terjun ke bidang lain? Mungkin gitu kali yang ada di otaknya. Keheranan Sapardi menjadi-jadi ketika ngeliat orang2 iklan selalu ngomongin iklan melulu. Segala macam topik selalu dihubungkan sama iklan. Keheranan yang membukit ditumpahkannya juga dalam puisi di bawah ini.

 

IKLAN

 

Ia penggemar berat iklan. “Iklan itu sebenar-benar hiburan,” kata lelaki itu.

“Siaran berita dan cerita itu sekedar selingan”

Ia tahan seharian di depan televisi. Istrinya suka menyediakan kopi

dan kadang-kadang kacang atau kentang goreng

untuk menemaninya mengunyah iklan

 

Anak perempuannya suka menatapnya aneh jika ia

menirukan lagu iklan Supermi – kepalanya bergoyang-goyang

dan matanya berbinar-binar

Anak lelakinya sering memandangnya curiga jika ia tertawa

melihat badut itu mengiklankan sepatu sandal – kakinya

digerak-gerakkannya ke kanan-kiri

Dan istrinya suka tidak paham jika ia mendadak terbahak-bahak

ketika menyaksikan iklan tentang kepedulian sosial itu – dua tangannya

terkepal dan dihentak-hentakkannya

 

Lelaki itu meninggal seminggu yang lalu; konon kata yang

terakhir diucapkannya sebelum “Allahuakbar” adalah “Hidup Iklan!”

 

Sejak itu isterinya gemar duduk di depan televisi,

bersama anak-anaknya, menebak-nebak iklan mana gerangan

yang menurut dokter itu telah menyebabkannya begitu

bersemangat sehingga jantungnya mendadak berhenti

SDD juga menulis puisi tentang cinta. Judulnya ‘Aku ingin.’ Mungkin puisi ini yang paling dikenal oleh orang. Saya sering liat puisi ini dicetak di undangan2 perkawinan. Puisi ini juga telah dijadikan lagu oleh seorang sahabat saya namanya AGS Arya Dipayana. Begitu bagusnya puisi dan lagu ini sehingga dijadikan soundtrack film ‘Cinta dalam sepotong roti.’

 

AKU INGIN

 

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan kata yang tak sempat

diucapkan kayu kepada api

yang menjadikannya abu

 

aku ingin mencintaimu dengan sederhana

dengan isyarat yang tak sempat

disampaikan awan kepada hujan

yang menjadikannya tiada

 

Adacerita lucu sekaligus miris seputar puisi ini. Saya dapet cerita ini dari sahabat saya perempuan, namanya Reda L gaudiamo. Reda cerita bahwa ada pasangan yang sedang menikah di gereja. Mereka mengutip puisi ‘Aku ingin’ karya SDD ini di kartu undangannya. Masalahnya yang tercetak di undangan itu penulisnya bukan Sapardi Djoko Damono. Tebak siapa coba? Percaya atau tidak di sana tercetak penulisnya adalah Khalil Gibran.

Pas lagi acara pemberkatan, pasturnya ngomong ke kedua mempelai.

 

“Puisi ‘Aku ingin’ ini memang bagus tapi kalian salah menulis penyairnya. Yang benar adalah Bapak Sapardi Djoko Damono. Bukan Khalil Gibran.” kata Si Pastor yang kebetulan mengenal SDD.

 

Anehnya si mempelai perempuan ngeyel banget orangnya. Dia nyaut dengan penuh kepercayaan diri, “Bukan Bapak. Saya yakin sekali kalo puisi itu karya Khalil Gibran.”

 

“Oh kamu keliru. Saya tau benar ini karya Bapak Sapardi.” kata Pastor dengan suara sabar.

 

“Mungkin Sapardi cuma menerjemahkan saja Bapak. Tulisan aslinya pasti Khalil Gibran.” sahut mempelai perempuan.

 

“Kenapa kamu sangat yakin kalau ini karya Khalil Gibran?” tanya sang Pastor penasaran.

 

“Ya mana mungkinlah orang Indonesia bisa bikin tulisan sebagus itu.” sahut mempelai perempuan itu.

 

Ya Allah maafkanlah perempuan itu sesungguhnya dia tidak mengerti apa yang sedang dikatakannya.

 

 

Tulisan ini saya dedikasikan khusus untuk Sapardi Djoko Damono. Dosen sekaligus teman saya. I love you Pak SDD. Semoga Bapak selalu dalam keadaan sehat. Amin3X.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun