Jelang Idulfitri adalah momen mengirim parsel kepada orang terdekat atau kolega. Kirim bingkisan lebaran sudah menjadi kebiasaan.
Bingkisan lebaran pun memenuhi sebagian ruang toko ritel modern dan pasar swalayan. Tinggal beli, beri alamat penerima ke toko, dan tunggu tanda terima kiriman barang. Simpel.
Beberapa orang dengan senang hati berpayah-payah membeli isi. Isinya beragam: makanan dan minuman, sembako, peralatan makan atau minum, perlengkapan dapur, dan sebagainya.
Kemudian merakitnya dan mengemas sendiri bingkisan yang kerap disebut parsel. Lalu merencanakan pengiriman. Lumayan merepotkan.
Alasan pemberian bingkisan adalah sebagai wujud perhatian kepada orang lain, ungkapan rasa syukur, dan memelihara hubungan baik. Mungkin sebagian orang ingin berbagi bingkisan dengan mereka yang tak mampu membeli parsel lebaran.
Sesungguhnya saya tidak punya kebiasaan mengirim bingkisan lebaran. Namun bukan berarti tidak pernah.
Ada dua masa saya mengirim bingkisan lebaran, kendati mungkin wujudnya sedikit berbeda dibanding parsel di toko. Tidak perlu payah-payah merakitnya. Tidak repot pula dengan urusan pengiriman.
Kisah Pertama
Sewaktu masih mengelola kafe di Kebayoran Baru Jakarta Selatan, tiap tahun saya (perusahaan) pusing memilih siapa-siapa yang patut mendapatkan parsel.
"Permintaan" bingkisan lebaran dari berbagai pihak menggunung di meja. Semua minta diprioritaskan. Surat tertulis disampaikan oleh berbagai ormas, orang mengaku dari kantor militer, serta kepolisian (dari pospol hingga Polsek). Belum lagi dari pihak-pihak yang entah.
Sangat memusingkan kepala menyeleksi kelompok mana yang akan diberi. Masalahnya, perusahaan memiliki sumber daya terbatas. Apalagi pengeluaran menjelang Idulfitri meningkat, sementara penjualan menurun.