Lebih dari sembilan tahun lebih sejak bergabung dengan Kompasiana, saya telah menggelindingkan 300 artikel. Delapan tahun pertama menelorkan sekitar 30 karya tulis. Sisanya dibuat dalam setahun terakhir. Sementara itu, Kompasianer lain dalam rentang waktu sama mampu menghasilkan ribuan artikel.
Lha kok bisa begitu?
Untuk pertama kalinya saya mendapat informasi tentang Kompasiana dari seorang kawan sesama pemborong. Pria berpostur mirip Mike Tyson menerangkan, bahwa artikel di dalam blog keroyokan milik Kompas Gramedia itu bagus-bagus dan berkualitas. Tentu saja saya memercayai keterangan pria lulusan Fakultas Ilmu Komunikasi sebuah Perguruan Tinggi di Bandung tersebut.
Tepat pada tanggal 01 Februari 2011 (menurut catatan di profil) saya mendaftarkan diri dan langsung memperoleh akun Kompasiana, yang baru divalidasi 8 tahun kemudian (2019).
Setahun awal saya masih rajin menulis di platform dimaksud, 27 artikel yang umumnya dimuat di kanal fiksi. Produktif kan? Eh... enggak yak! Sampai dengan tahun 2017 saya hanya menghasilkan 5 artikel tambahan sehingga total menjadi sebanyak  32 karya tulis.
Namun dalam masa itu saya sempat mengenal kompasianer dari berbagai wilayah se Indonesia, bahkan mereka yang bekerja di Hongkong, Macau, Taiwan dan sebagainya.
Celakanya, provokator yang mendorong saya untuk memasuki belantara Kompasiana telah minggat duluan. Kemudian saya menyusul menjadi tidak aktif menulis. Pekerjaan di lingkungan proyek konstruksi  demikian menyita waktu, sehingga untuk menulis pun tidak sempat. Waktu terasa mampat.
Bulan Agustus atau September 2019 kemarin, saya dilimpahkan waktu dan mulai mengamati untuk mulai menulis lagi di Kompasiana.
Kini Kompasiana berpenampilan lebih bagus dibanding sebelumnya. Lebih meriah dengan fitur-fitur kekinian. Kompasiana masih didominasi oleh artikel-artikel berkualitas karya penulis-penulis hebat yang membuat saya gamang untuk terjun ke dalamnya.