Sejak abad ke-19 atau awal abad ke-20 muncul gelombang pergerakan feminis, memperjuangkan: hak memperoleh pendidikan yang sama, hak kepemilikan, hak atas pekerjaan, hak pilih yang setara, dan hak dalam perceraian.
Senada dengan itu, lahir sebuah pandangan mengenai feminisme yang meyatakan: perlunya advokasi atau dukungan terhadap kesetaraan wanita dan pria, diiringi dengan komitmen untuk meningkatkan posisi wanita dalam masyarakat.
Sehingga dari sisi tinjauan feminisme, perkembangan itu merupakan hal yang lumrah. Cerai gugat merupakan hak istri. Perceraian menjadi konsekuensi logis dari hubungan pernikahan yang tidak dapat dipertahankan, dengan berbagai pertimbangan yang telah dipikirkan matang-matang.
Penutup
Kasus antrean perceraian di atas telah menghebohkan jagad medsos. Tren perceraian 2015-2018 mengalami peningkatan, dengan penyebab terbesar adalah perselisihan, kemudian faktor ekonomi, suami/istri menghilang, KDRT, dan lainnya. Bisa jadi fenomena "ramai kasus perceraian" merupakan antrean orang dengan berbagai urusan, selain perceraian.
Kesulitan ekonomi dalam masa pandemi adalah pucuk dari pohon persoalan. Sedangkan akar permasalahan jauh lebih kompleks dari sekedar dalih tersebut.
Menariknya, tidak sedikit kasus tersebut merupakan cerai gugat (dilakukan oleh pihak istri), bukan cerai talak (diajukan oleh suami).
Dengan kata lain, gejala naiknya ajuan cerai gugat itu juga bisa dianggap sebagai naiknya posisi tawar kaum wanita dalam berumahtangga dan bermasyarakat.
Tinjauan maskulinitas lah yang telah membuat antrean perceraian tersebut menjadi heboh.
Sumber rujukan: 1, 2, 3, 4, 5. William Outhwaite, Kamus Lengkap Pemikiran Sosial Modern, Jakarta, 2008.