Dulu radio komunitas sempat "bergerilya dan beroperasi di bawah tanah". Semenjak tumbangnya rezim orde baru dan dibubarkannya Departemen Penerangan, lebih dari 300 radio komunitas berkembang secara resmi, berdasarkan Undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, dan tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Menurut ketentuan, radio komunitas hanya boleh beroperasi di 3 frekuensi FM 107,7 Mhz; 107,8 Mhz; 107,9 Mhz, dengan kemampuan daya siar maksimal 50 Watt dan jangkauan pelayanan sebatas 2,5 km.
Kemampuan pelayanan dan fasilitas radio komunitas memang tidak sebanding dengan keterhubungan yang ditawarkan internet. Pun hanya bisa melayani komunikasi satu arah.
Keberadaannya sudah ketinggalan jauh dibanding internet.
Diketahui bahwa internet memudahkan manusia dalam memperoleh informasi, melakukan komunikasi, menjalankan pertukaran data, meluaskan jaringan bisnis, mengembangkan pendidikan, dan keleluasaan lainnya.
Penerapan PJJ akan sangat dimudahkan berkat adanya akses internet dan infrastrukturnya.
Namun realitas menyatakan kesenjangan akses internet.
Pelajar naik genteng untuk mendapatkan sinyal, ditambah kendala lain seperti ketiadaan alat, telpon genggam yang tidak kompatibel, dan ketidakmampuan mengadakan kuota internet sudah beredar menjadi berita umum.
Mengharap terwujudnya kesetaraan akses internet berkualitas (tambahan pula rekomendasi internet gratis selama PJJ) adalah sebagaimana diekspresikan oleh Samuel Beckett: menunggu Godot!
Tak ada rotan akar pun jadi.
Jadi, daripada menunggu perihal yang tidak pasti, lebih elok memanfaatkan radio komunitas yang ada di daerah masing-masing untuk menerapkan PJJ dalam radius terbatas. Kendati dengan metode ini hanya bisa dilakukan komunikasi satu arah. Materi pelajaran dari guru ke murid dapat tersampaikan.