Suhu perpolitikan Indonesia belakangan ini mulai menghangat, beberapa kandidat yang akan terjun dalam bursa kontestasi politik di 2024 sudah mulai mengambil ancang-ancang untuk membangun fondasi kepercayaan publik. Â Rasa-rasanya tidak salah melakukan pemanasan untuk lari kencang di 2024 mendatang, selagi pemanasan tersebut tidak menciderai persatuan dan kesatuan bangsa serta ke-Indonesiaan itu sendiri. Â
Baru-baru ini perhatian publik tersita oleh deklarasi pencapresan salah seorang kandidat capres karena adanya pengibaran bendera yang identik dengan simbol Hizbut Tahrir Indonesia pada saat deklarasi tersebut. Peristiwa ini tentu saja mengundang kekhawatiran karena sejak tahun 2019 HTI ditetapkan sebagai organisasi terlarang. Publik kiranya bisa saja mengartikan peristiwa tersebut sebagai awalan praktik politik identitas yang sengaja didesain untuk konteks pemilu 2024.
Gesekan akibat polarisasi yang merupakan efek samping praktik politik identitas masih belum pulih sepenuhnya. Namun, tiba-tiba ingatan publik seakan-akan ditarik kembali pada saat perhelatan demokrasi kita dinodai oleh beragam konflik, kebencian, provokasi pemecah-belah dan arus permusuhan antar masyarakat Indonesia. Â
Apabila kita dapat mengambil pelajaran dari peristiwa yang terjadi dalam pilkada, pileg maupun pilpres kurun waktu 2017 sampai dengan 2019 dimana setiap harinya caci maki, ujaran kebencian, berita bohong (hoax) menghiasi setiap lini media sosial, sampai-sampai antar saudarapun tidak bertegur sapa, atau bahkan sampai menimbulkan aksi kekerasan karena persoalan beda pilihan politik. Belajar dari pengalaman tersebut harusnya dapat menyadarkan seluruh masyarakat, betapa kita tidak mendapat keuntungan apapun atas perpecahan yang terjadi. Toh, para politisi sudah dapat melenggang bersama, tapi masyarakat masih bergejolak dan bertahan dengan ego dan kemarahannya atas mereka yang tidak sepaham.Â
Menurut saya hanya para pragmatisme politik yang amoral yang mengeksploitasi perbedaan khususnya agama untuk dikonversi menjadi electoral vote. Mereka menutup mata atas kekerasan akibat politik identitas, mereka tidak peduli luka yang menganga atas persatuan dan kesatuan yang terkoyak, yang ada di pikiran mereka hanya bagaimana kekuasaan dapat terwujud. Cukup sudah! Pengalaman tersebut harus membuat kita terjaga jangan ada lagi yang terbius oleh tipu daya politisi yang mengemas politik identitas agama maupun etnis sebagai cara memperoleh simpati masyarakat. Â Â Â
Partai politik tempat bernaungnya para politisi mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk mempunyai tuntunan yang selaras dengan ideologi negara sebagai acuan para politisi untuk mengejawantahkannya dalam bentuk etika dan adab ketika berkampanye. Pemerintah dalam hal ini juga harus turun tangan membuat peraturan undang-undang agar dapat menindak tegas mereka yang menggunakan politik identitas. Sehingga kedepan diharapkan tidak ada lagi praktik politik identitas dalam hajatan pemilu. Â Â Â
Untuk masyarakat sebaiknya berpikir dan mencari tahu, untuk mengenali siapa calon yang akan kita pilih karena sudah banyak terbukti yang mengusung agama melakukan tindakan korupsi, yang sama kelompok belum tentu dapat membantu perjuangan kelompoknya jika sudah terpilih, dan yang berjanji manis seringkali lupa akan janjinya.
Sudah saatnya kita harus mandiri dan berdaulat atas pilihan politik kita, jangan kita gadaikan dengan uang atau sembako. Kenali melalui rekam jejak para calon, apa yang mereka kerjakan setidaknya selama sepuluh tahun terakhir. Jangan lagi tertipu dengan kegiatan karbitan menjelang pemilu!