Mohon tunggu...
Asep B
Asep B Mohon Tunggu... Editor - Asep Burhanudin mantan wartawan yang masih giat menulis

Ada bersahaja

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Perparkiran Kita di Persimpangan

26 April 2016   23:01 Diperbarui: 27 April 2016   00:22 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu gedung parkir mobil di Jepang (foto: reuters)

Terlalu tendensius bila pengelolaan parkir di negara kita lebih mengutamakan Pendapatan Asli Daerah (PAD) daripada kepentingan umum. Namun,seperti inilah realita yang ada,lahan parkir kerap dituding sebagai biang kemacetan yang mencaplok  badan jalan, pedestrian atau bahkan taman kota sekalipun.

Pernahkah suatu ketika waktu Anda terbuang hanya untuk mencari lahan parkir di suatu tempat tujuan, atau pernahkan Anda menggerutu ketika macet di jalan raya akibat bahu jalan menyempit terhalang deretan  kendaraan parkir ?. Pertanyaan yang tak perlu jawaban ini suatu fenomena sehari-hari di kota besar. Atau bisa saja bila  mobil terparkir itu milik Anda dan Anda sendiri tidak merasa bersalah karena sudah membayar sesuai tarif parkir.

Pertumbuhan kendaraan bermotor baik roda dua maupun empat tiap tahunnya terus meningkat. Di Jakarta, Ibu Kota Indonesia misalnya, sampai pertengahan tahun ini saja terdapat 5,6 juta kendaraan bermotor. Dari jumlah ini 3,4 juta unit di antaranya jenis sepeda motor, roda dua. Angka ini diprediksi akan terus bertambah setia tahunnya, sejalan dengan terus meningkatnya tarap kemakmuran masyarakat Jakarta. Menurut data dari UPT Pelayanan Pajak kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, di kota Jakarta, saat ini setidaknya 300 sepeda motor setiap bulan bertambah dan untuk kendaraan roda empat atau mobil sekitar 40 unit per bulannya.  Namun peningkatan jumlah kendaraan tak diimbangi dengan pertumbuhan volume jalan, dan lahan parkir. Pada akhirnya bisa ditebak, kita bisa menuai kemacetan di mana- mana.

Untuk lahan parkir,  pemerintah  RI telah mengeluarkan berbagai peraturan, baik  lewat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum  Nomor 29 tahun 2006, yang dikemas dalam Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung,   UU Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta  Perda (Peraturan dearah) di setiap propinsi. Namun kenyataannya, bahu jalan dengan tingkat kepadatan lalu-lintas tinggi masih saja dijadikan lahan parkir. Koefisien lahan parkir dengan volume gedung  yang tidak jelas menjadikan sarana parkir tumpang tindih dengan sarana kebutuhan gedung lainnya. Pedestrian dan taman atau bahu jalan pada akhirnya sebagai jawaban untuk mengatasi volume parkir kendaraan.

 Padahal dalam peraturan menteri ini jelas jelas disebutkan, penataan  parkir harus berorientasi kepada  kepentingan pejalan kaki, memudahkan aksesibilitas, dan tidak terganggu oleh sirkulasi kendaraan. Gambaran ini umum dan banyak dijumpai di gedung-gedung, tak terkecuali gedung milik pemerintah yang nota bene mendapat pengecualian Perda Perparkiran .

Perparkiran  merupakan sub sistem transportasi yang bila dikelola dengan benar selain bisa meningkatkan Pendapatan Asli Dearah (PAD) juga turut menciptakan tertib lalu-lintas. Sebaliknya bila dikelola tidak benar mereka bahkan jadi beban APBD dan bertambah semrawutnya lalu -lintas yang ditandai dengan maraknya parkir on street.Untuk itu tidak ada salahnya kita mengintip negara negara maju dalam pengelolaan parkir yang memberikan sumbangan besar bagi tertib dan lancarnya lalu-lintas di jalan raya.

Tokyo , Jepang

Jepang yang luasnya hanya sepertiga Indonesia memiliki jumlah penduduk 130 juta jiwa. Jumlah ini 10 persen di antaranya tinggal di Tokyo, Ibu Kota Jepang. Menurut data tahun lalu, jumlah kendaran bermotor di Jepang mencapai 79 juta unit. Bila dibandingkan dengan luas negaranya, jumlah ini cukup tinggi dan bisa menyebabkan kemacetan di mana-mana. Terlebih di Kota Tokyo kepemilikan warga akan kendaraan bermotor rata rata 1,1 unit per setiap rumah. Namun bila dibanding dengan kondisi jalan raya  Jakarta, Tokyo relatif lancar. Apa rahasiahnya? Peningkatan tarif parkir dan tentunya penyediaan sarana parkir memadai salah satu jawabannya.

Saat ini tarif parkir mobil pribadi di Tokyo untuk 10 menit pertama sekitar 300 yen atau setara dengan Rp350 ribu. Untuk kelebihannya, perjam ditarif 1000 yen yang sebanding dengan Rp 114. Ribu. Nah bagi mereka yang membayar tarif parkir bulanan atau abondemen, pemerintah Jepang memungut Rp.4,7 juta per bulannya. Mahalnya tarif  parkir mendorong warga menggunakan transportasi umum, seperti kereta bawah tanah yang tarif termahalnya tidak melebihi harga parkir 10 menit pertama tadi.

Konsekuensi mahalnya tarif parkir, Jepang pun harus menyediakan sarana parkir yang aman dan nyaman. Umihotaru misanya, sengaja dibuat Jepang untuk menampung volume parkir yang tinggi. Umihotaru sebenarnya sebuah pulau terapung di Teluk Tokyo. Pulau ini merupakan ujung terowongan Tokyo Aqua-Line dari Central Tokyo sepanjang 9,6 kilometer sekaligus awal jembatan menuju Prefektur Chiba bagian selatan,yang panjangnya 4,4 kilometer. Umitoharu artinya ‘kunang-kunang laut’ yang berfungsi juga sebagai rest area bagi para pelancong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun