Mohon tunggu...
Briliano Doter
Briliano Doter Mohon Tunggu... Petani - Mahasiswa

Terbatas dalam Tindakan namun Merdeka dalam Pikiran!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tak Terduga

14 Mei 2022   16:39 Diperbarui: 15 Mei 2022   10:38 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi Perahu Layar (Pixabay.com)

"Nahkoda, ABK, Masinis juga Koki, selamat berlayar bersama Perahu, tapi ingatlah bahwa ada juga yang berperan penting di luar sana, yaitu si penjaga mercusuar. Sebab ialah yang menentukan kapan Perahu dapat berlabuh"

Ketika "Pertempuran Pikiran" Gereja Presbiterial Sinodal tiba di saat-saat terakhir, hari kesepuluh, dua hari sebelum memasuki hari suci nan teduh, seakan alam ikut berperkara. 

Air mata Ibu Bumi, terasa lebih deras dengan durasi yang cukup lama. Terasa basah di Barat, tempat "Bidadari" yang kini telah tersingkir ke pedalaman hutan. Air yang sama, juga menggenangi di Utara, tempat pertama bagi penggembara Eropa saat mengabdikan pada visi Sang Pencipta. Tepian bibir dari Gadis Manis  yang gemar sengatan panas, juga tak dapat lari.

Bahkan disitulah, makna emosional Sang Ibu Bumi dapat diketahui. Bermakna ganda. Positif bagi mereka yang adaptif dan positif-negatif bagi yang evaluatif.

Beberapa saat sebelum konklusi terpaksa ditarik keluar dari tempat bersarangnya unsur kekuatan, yang berkedudukan di bagian atas tubuh, di sudut kiri ruangan bergerbang kaca itu, sebuah kursi dari kandungan unsur simbol Fe dengan warna keberanian, jikalau memiliki Indra pasti berkata,


"Kunantikan siapa yang akan bermegah di atas kepalaku..."

Cairan asam  yang mulai mengucur dari tumpukan kelabu di cakrawala, saat jarum di pergelangan tangan menusuk angka 7 dan pada lingkaran yang lebih kecil tersentuh di angka 5, saat bumi dikuasai oleh benda penerang yang lebih kecil, ditengah-tengah kebisingan canda dan tawa sekitar 500an "Pelayan Tuhan", tatkala tumpahan zat yang kaya akan nitrogen, memaksa ciptaan yang serupa dengan Dia, kocar kacir mencari perteduhan, di kursi yang sementara dalam penantian...

Datanglah seorang sosok bertubuh kurus, dengan paduan warna agak gelap yang membungkus tulangnya, memilih kursi itu.

Dengan perasaan cemas yang tergambar dari wajahnya, satu kaki dalam pangkuan dan sebuah ponsel usang dalam genggaman, berusaha tidak menonjolkan kegundahan hati, dengan sabar menanti akhir hasil dari kertas putih yang menjadi penentu, siapa yang akan berlayar bersama 'Perahu'.

Terpancar aura ketulusan dan kecerdikan dari sosok itu, yang terinisial VG. Dengan tekad berbuat lebih, jika terpilih menahkodai dan memberi diri bagi organisasi yang sudah menginjak usia 70an tahun lebih.

Sepuluh hari yang lalu, setelah mereka yang dianggap tak berguna dari kerabunan, bahkan di pancung sebagai Pengacau Gereja, tiba di arena pertarungan untuk menentukan kesesuaian layar perahu juga kompas, dengan jalur yang tersirat pada benda-benda penguasa pantulan lautan, melihat secara jelas bagian per bagian, lubang-lubang kecil bahkan besar pada Perahu itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun