Mohon tunggu...
Boyke Pribadi
Boyke Pribadi Mohon Tunggu... Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Banten -

menulis berbagai hal dalam kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perppu 1/2014, Upaya Meningkatkan Kualitas Pilkada

22 Oktober 2014   21:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:05 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah prosesi pelantikan Presiden terpilih, konsentrasi publik penikmat politik beralih kembali kepada polemik pilkada langsung versus pilkada melalui DPRD. Karena sebagian masyarakat menilai pilkada melalui DPRD dianggap kurang demokratis, maka Presiden SBY pada ‘injury time’ masa bhaktinya mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang atau biasa disebut Perpu. Perpu Nomor 1 tahun 2014 yang dikeluarkan pada tanggal 2 Oktober 2014, akan mengatur tata cara pemilihan kepala daerah, baik Gubernur, Bupati, maupun Wali Kota.

Perpu yang terdiri dari 206 pasal tersebut dalam 130 halaman diluar bagian penjelasan, sebagian isinya tidak berbeda jauh dengan tata cara pemilihan kepala daerah secara langsung oleh konstituen yang telah diatur oleh undang undang ataupun peraturan lainnya terutama pada bagian tugas dan wewenang para penyelenggara pilkada sejak dari KPU, Bawaslu, Panwaslu, hingga KPPS. Namun sebagian lainnya merupakan terobosan yang dapat dianggap baru pertama kalinya dilakukan dalam sejarah pemilihan kepala daerah pada era reformasi.

Salah satu yang menarik perhatian penulis adalah pelaksaan pilkada yang dilaksanakan serentak setiap 5 tahun sekali sebagaimana tercantum pada pasal 3, ayat 1, hanya akan memilihi Gubernur/Bupati/Walikota saja, bukan berikut pasangan para wakilnya.. Pelaksanaan pilkada secara serentak diyakini sebagai salah satu cara untuk menghilangkan kecurangan para calon melalui mobilisasi masa antar daerah yang saling berbatasan. Dan bahkan selama ini tidak jarang pula calon yang melakukan mobilisasi massa pemilih dari luar daerah pemilihan yang jauh demi mendapatkan suara pemilih.

Sedangkan untuk mengukur kapasitas dan kapabilitas calon kepala daerah, maka pada pasal 3 ayat 2 mewajibkan dilakukannya uji publik bagi kepala daerah yang memenuhi syarat untuk mencalonkan diri. Dalam pasal 1 tentang ketentuan umum, disampaikan bahwa yang dimaksud uji publik adalah pengujian kompetensi dan integritas yang dilaksanakan secara terbuka oleh panitia yang  bersifat mandiri yang dibentuk oleh Komisi Pemilihan Umum Provinsi atau Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota, yang hasilnya tidak menggugurkan pencalonan.

Dengan kata lain, sekalipun hasil uji publik tidak menggugurkan pencalonan, paling tidak publik bisa mengetahui kompetensi dan integritas calon kepala daerah yang akan dipilihnya, sehingga menghindarkan proses memilih kucing dalam karung sejak awal pancalonan sang kepala daerah sebagai bakal calon. Karena berdasarkan pasal 38 ayat 5 dan 6 dinyatakan bahwa Uji Publik dilaksanakan secara terbuka paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum pendaftaran Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota. Bakal Calon Gubernur, bakal Calon Bupati, dan bakal Calon Walikota yang mengikuti Uji Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperoleh surat keterangan telah mengikuti Uji Publik dari panitia Uji Publik.

Sedangkan pada pasal 7 yang mengatur persayaratan calon, disamping persyaratan normatif, ada hal yang menarik yaitu pada butir q yang berbunyi “tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana”. Sehingga karena ini merupakan terobosan, maka pada bagian penjelasan dinyatakan secara khusus bahwa “ Yang dimaksud dengan “tidak memiliki konflik kepentingan”  adalah antara lain, tidak memiliki ikatan perkawinan atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan”. Artinya perpu ini menutup peluang seorang suami atau istri atau kakak atau adik atau anak dari petahana untuk ikut berkompetisi pada pilkada.

Untuk mengatur agar pertandingan lebih fair, terutama untuk menjaga agar calon kepala daerah tidak jor-jor-an (berlebihan) berlomba untuk melakukan sosialisasi melalui pemasangan spanduk atau alat peraga lainnya, maka pada pasal 65 tentang metode kampanye, negara mengatur dan membiayai melalui APBN (ayat 2) untuk keperluan debat publik, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga, dan iklan media massa cetak dan elektronik. Maksudnya bahwa KPU terlibat langsung untuk mengatur peredaran alat peraga seperti spanduk, baliho termasuk lokasi penempatannya, sehingga timses calon tidak berlomba lomba memperbanyak alat peraga se-suka hati-nya sendiri.

Dan yang paling menarik dan merupakan terobosan unggulan dalam perpu ini adalah pada bab XXIII tentang Pengisian Wakil Gubernur, wakil bupati, dan wakil wali kota. Sekalipun tugas dan wewenang wakil kepala daerah tersbut tetap sama dengan peraturan perundangan sebelumnya tentang pemerintahan daerah, namun pada pelaksanaan perpu ini, sosok wakil tidak dimunculkan dan di-ikut sertakan dalam proses pemilihan langsung oelah masyarakat. Namun akan ditunjuk langsung dan menjadi hak preogratif dari kepala daerah terpilih. Dan penunjukkannya dilakukan setelah kepala daerah terpilih dilantik secara resmi.

Disebut terobosan baru, karena jumlah wakil kepala daerah tidak harus satu orang sebagaimana kelaziman pilkada selama ini. Pada perpu ini, seorang kepala daerah dimungkinkan tidak memiliki wakil, meskipun juga diperkenankan mengambil lebih dari satu orang wakil sesuai dengan jumlah penduduk di wilayah yang akan dipimpinnya.

Pada pasal 168 ayat 1, seorang gubernur tidak diperkenankan memiliki wakil bila jumlah masyarakatnya kurang dari 1.000.000 jiwa. Dan memiliki 1 orang wakil jika jumlah penduduknya antara 1 juta  hingga 3 juta jiwa. Sedangkan bila memiliki jumlah penduduk antara 3 juta hingga 10 juta jiwa, maka gubernur boleh didampingi wakil gubernur sebanyak 2 orang. Dan 3 orang wakil diperkenankan mendampingi sang Gubernur bila penduduk di wilayahnya melebihi 10 juta jiwa. Demikian halnya dengan Bupati dan walikota, jumlah wakil yang dimiliki sangat tergantung jumlah masyarakat yang dinaunginya.

Hal yang menarik untuk disimak juga adalah tentang persyaratan wakil kepala daerah, sebagaimana yang diatur pada pasal 169, dimana pada beberapa butirnya, terselip keinginan pemerintah untuk memberikan wakil kepala daerah yang memiliki kualitas tertentu agar dapat bekerja optimal dalam mendampingi sang kepala daerah dan melayani masyarakatnya. Sebut saja persyaratan pada butir d yang mengatur bahwa seorang wakil kepala daerah harus mempunyai kecakapan dan pengalaman pekerjaan yang cukup di bidang pelayanan publik. Dalam konteksi ini, sekalipun dalam bagian penjelasan dinyatakan sudah jelas, namun masih perlu dibicarakan indikator yang tegas dari pengertian ‘cukup berpengalaman dalam bidang pelayanan publik’. Apakah pernah menjadi aktivis, pengurus LSM, pengurus ormas atau lainnya dapat dianggap sebagai sebuah pelayanan publik??.

Syarat pada butir d diatas sangat berbeda dengan syarat pada butir e yang diperuntukan bagi wakil kepala daerah dari kalangan PNS. Dinyatakan bahwa “calon Wakil Gubernur, calon Wakil Bupati, dan calon Wakil Walikota yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil dengan golongan kepangkatan paling rendah IV/c untuk calon Wakil Gubernur, dan golongan kepangkatan paling rendah IV/b untuk calon Wakil Bupati /calon Wakil Walikota dan pernah atau sedang menduduki jabatan eselon II/a untuk calon Wakil Gubernur dan eselon II/b untuk calon Wakil Bupati dan calon Wakil Walikota. Dengan demikian pada butir e sudah sangat tegas dan jelas persyaratan yang dibutuhkan.

Dari beberapa catatan yang sempat penulis simak dari perpu no.1/2014 tersebut, sangat jelas adanya keinginan dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas kepala daerah yang dihasilkan dari proses pilkada langsung yang selama ini tidak jarang dikeluhkan oleh masyarakat bahwa hanya pemilik uang/kapital sajalah yang dapat memenangkan pilkada langsung tersebut, tanpa melihat kualitas perseorangan dari calon yang diusulkan oleh partai politik maupun yang melalui jalur perseorangan. Upaya perpu ini untuk mengurangi pertarungan uang telah dilakukan melalui pengambil alihan pembiayaan kebutuhan alat peraga yang selama ini banyak dibelanjakan oleh calon kepala daerah. Disamping itu, jelas sekali upaya untuk mempersulit munculnya wakil kepala daerah yang tiba tiba muncul tanpa memiliki pengalaman manajerial pelayanan publik. Dan bahkan untuk wakil kepala daerah dari unsur PNS, ditetapkan sederatan prasyarat yang jelas jelas  mempertimbangkan jam terbang sang wakil dalam dunia birokrasi pemerintahan.

Namun semua upaya perpu diatas untuk menghasilkan kepala daerah berkualitas, masih sangat tergantung kemampuan masyarakat untuk mengurangi semangat golput (golongan pencari uang tunai) atau semangat transaksional yang hanya menguntungkan sesaat, namun menimbulkan kerugian selama 5 tahun masa kepemimpinan sang kepala daerah.

Marilah kita lihat, apakah perpu no 1 tahun 2014 ini yang akan dimainkan untuk melakukan putaran pilkada yang serentak akan dilaksanakan pada tahun 2015 dan 2018? Semua berpulang kepada kondisi dan dinamika politik yang berda di tangan para elit di negara ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun