Mohon tunggu...
Bona Ventura Ventura
Bona Ventura Ventura Mohon Tunggu... Guru - Kontributor buku antologi: Presiden Jokowi: Harapan Baru Indonesia, Elex Media, 2014 - 3 Tahun Pencapaian Jokowi, Bening Pustaka, 2017 | Mengampu mapel Bahasa Indonesia, Menulis Kreatif, dan media digital

#Dear TwitterBook, #LoveJourneyBook @leutikaprio

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ahok Cinta Indonesia

8 November 2016   09:28 Diperbarui: 8 November 2016   09:35 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pengalaman dapat membuat dua efek. Pertama, orang yang pernah mengalami akan memetik pelajaran sebagai pijakan untuk kehidupan berikutnya. Kedua, orang tersebut menganggap pengalaman itu hanya sebagai angin lalu tanpa memetik pelajaran dari yang pernah dialaminya. Basuki Tjahaja Purnama atau biasa dipanggil Ahok memilih jalan yang pertama. Ia pernah mengalami korban kesewenang-wenangan pemerintah daerah saat masih menjadi pengusaha. Usaha Ahok yang dirintis di Belitung terpaksa harus ditutup, karena kebijakan dari pejabat korup di daerahnya (Suwarto,2013,hlm.167). Pengalaman sebagai korban membuat ia memetik pelajaran terhadap pentingnya seseorang untuk mengerti politik.

Terjun ke Politik: Niat Mulia dan Tentangan Keluarga

Kebangkrutan usaha akibat dirongrong oleh pemerintah daerah (pemda) menyisakan kekesalan terhadap diri Ahok. Susah payah ia membangun usaha dari nol, namun terpaksa gulung tikar akibat kebijakan pemda yang tidak pro pengusaha. Kebijakan pemda dalam mengenakan pajak atau pungutan yang terkadang justru bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Dalih pemda mengenakan beragam pungutan untuk menggenjot PAD (pendapatan asli daerah) di era otonomi daerah. Otonomi daerah yang diartikan secara salah kaprah dengan membuat peraturan yang lebih menguntungkan pemda, namun justru mengkandaskan para pengusaha.

Pengalaman pahit Ahok terhadap kebijakan pemda membekas di sanubarinya, sehingga dia hampir pergi ke Kanada untuk menerima tawaran dari teman untuk bekerja di sana (Handoko dan Danoeatmadja,2012,hlm.15). Niat Ahok terganjal, karena sang ayah tidak menyetujui kepergiannya ke Kanada. Ayahnya, Indra Tjahaja Purnama (Zhong Kim Nam) memberikan ilustrasi yang membekas terhadap jalan hidup Ahok selanjutnya, yakni: orang miskin jangan melawan orang kaya, dan orang kaya jangan melawan pejabat. Sebagus apapun orang kaya bisa menolong orang miskin, tetapi yang bisa membantu mereka secara hakiki adalah pejabat melalui kebijakannya(Suwarto,2013,hlm.168).

Petuah dari sang ayah membuat Ahok memutar haluan. Ia memutuskan untuk terjun berpolitik. Ia mendambakan anggaran bermilyar-milyar yang nanti akan dapat digunakan untuk kesejahteraan rakyat, jika terpilih sebagai anggota dewan atau pejabat pemda. Niat Ahok terjun berpolitik sempat ditentang oleh sang ibu, Buniarti Ningsing. Ibunya mengkuatirkan identitas yang melekat pada diri anaknya: berlatarbelakang etnis Tionghoa dan pemeluk agama minoritas. Selain itu, wilayah Belitung Timur merupakan basis Masyumi. Kekuatiran sang ibu tidak menyurutkan langkah Ahok. Dia sudah termotivasi dengan kejadian kelam saat usahanya ditutup akibat kesewenang-wenangan pemda.

Tekad kuat dan keyakinan tinggi mampu menepis keraguan ibunda Ahok. Petuah dari Kong Hu Cu bahwa orang miskin jangan melawan orang kaya dan orang kaya jangan melawan pejabat, mampu membulatkan tekad Ahok untuk terjun berpolitik. Niat mulia Ahok untuk membantu rakyat kecil di kampung dan kekecewaan terhadap kesewenang-wenangan pejabat pemda yang pernah dialami berhasil mengantarkan Ahok untuk masuk ke politik di tahun 2013.

Berawal dari bergabungnya Ahok dibawah bendera Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB) yang saat itu dipimpin oleh Dr. Sjahrir (Handoko dan Danoeatmadja,2012,hlm.15). Pemilu 2004 merupakan ajang pertarungan Ahok pertama di kancah politik. Ia mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Bermodalkan keuangan yang sangat terbatas serta model kampanye berbeda, yaitu menolak memberikan uang kepada rakyat. Dalam setiap kampanye yang dilakukan oleh Ahok, ia tidak pernah membagikan sembilan bahan pokok (sembako), bagi-bagi amplop berisi uang ataupun bagi-bagi kaos (Suwarto,2013,hlm.170). Modal uang Ahok yang terbatas dan kampanye yang unik dari kontestan lain, yaitu menolak politik uang (memberikan uang atau iming-iming benda agar dipilih) berhasil mengantarkannya terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Belitung Timur periode 2004-2009.

Politik Nurani: Integritas yang Berkelas

Sejak terpilih menjadi anggota DPRD Kabupaten Belitung Timur, Ahok menunjukkan komitmen yang luar biasa untuk berpolitik dengan nurani. Ia memberikan nomor ponselnya (nomor yang sama pula untuk keluarga) agar para konstituen dapat menyalurkan keluhan atau aspirasi. Menurut Ahok yang dibutuhkan oleh rakyat adalah nomor ponsel agar rakyat harus bisa menggapai dan mengakses pemimpinnya (Suwarto,2013,hlm.170). Nomor ponsel pejabat atau wakil rakyat yang dimiliki oleh warga memungkinkan rakyat segera memberikan laporan segala hal tanpa dikurangi atau dilebihkan oleh asisten atau bawahan.

Selain itu, warung kopi kerap pula Ahok datangi agar langsung dapat mendengar keluhan atau aspirasi rakyat. Dari kegiatannya turun ke bawah (turba) ia langsung mengetahui apa yang menjadi permasalahan di akar rumput. Lalu, ia memperjuangkan aspirasi tersebut di dewan.

Di DPRD Kabupaten Belitung Timur ia berpolitik dengan melawan arus. Ia menunjukkan integritas mumpuni seperti menolak suap, menolak KKN dan praktik curang mengakali anggaran. Keberpihakannya kepada masalah rakyat dan berpolitik dengan integritas membuat popularitas Ahok segera menjadi buah bibir. Rakyat bagai terpuaskan dahaganya. Mereka masih dapat menemukan anggota dewan yang peduli, tidak hanya anggota dewan yang 4D (datang, duduk, diam, duit). Ritme perilaku politisi yang jauh dari rakyat, tidak peka dan koruptif tidak menjadikan Ahok sama seperti perilaku politisi pada umumnya. Ia mengaplikasikan semangat sukses Bruce Lee (Wongso,2011,hlm.117-118), “Berubah dimulai dari dalam ke luar. Kita memulainya dengan memperbaiki sikap kita, bukan dengan mengubah kondisi di luar kita” (the change is from inner to outer. We start by dissolving our attitude not by altering outer conditions). Perilaku Ahok dalam berpolitik merupakan cerminan kesungguhan hati untuk memberikan pendidikan politik kepada rakyat bahwa perubahan sekecil apapun dimulai dari dalam diri baru ke luar (masyarakat). Untuk mengikis budaya koruptif di bidang politik Ahok mengambil jalan perubahan yang dimulai dari dirinya (transparan, integritas, profesional dan peduli kebutuhan rakyat). Lambat laun efek bola salju akan mulai terjadi. Para politisi dan masyarakat akan melakukan perubahan yang sudah lebih dahulu dimulai dari Ahok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun