Mohon tunggu...
Budhi Masthuri
Budhi Masthuri Mohon Tunggu... Seniman - Cucunya Mbah Dollah

Masih Belajar Menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Swarm Leadership; Belajar Kepemimpinan dalam Kawanan Lebah

28 Desember 2020   13:00 Diperbarui: 28 Desember 2020   13:28 840
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: https://id.wikihow.com/Mengenali-Lebah-Ratu

Pada Tahun 1895 seorang psikolog dan pemikir Perancis Gustave Le Bon (1841-1931) menerbitkan buku berjudul The Crowd. Ini adalah buku pertama pada zaman itu yang membahas secara akademik tentang kerumunan massa dan kepemimpinan (Mudzakkir, 2019). Dalam buku tersebut, Le Bon secara lugas mengemukakan analisisnya tentang kerumunan massa sebagai sesuatu yang "excitable, credulous, impulsive, violent, or even heroic" (Coop, 2010: 2 dalam Mudzakkir, 2019).

Sebelum tahun 1950-an, sebagian  besar  studi  tentang perilaku kolektif  (collective  behavior) memang menggambarkan crowd sebagai kolektivitas yang liar, haus darah, rasional, seperti  yang sering nampak dalam berbagai tindakan kerusuhan, huru-hara, keributan dan kerisauan, hingga kepada pemberontakan  (Rajendra Singh dalam Rusmanto, 2013). Imam B Prasodjo dalam studinya bahkan memotret kerumunan massa (crowd) sebagai ancaman disintegrasi bangsa (Prasodjo, 2003). 

Meskipun penelitian lainnya juga ada yang mencoba melihat kerumunan massa dalam perspektif positif karena potensi yang ada di dalamnya sebagai pendorong terjadinya perubahan (Mudzakkir, 2019). Sejalan dengan itu, penelitian yang dilakukan selama 50 tahun terakhir memang menunjukkan bahwa crowd dari spesies super sosial seperti semut, lebah, dan bahkan manusia mencapai keberhasilannya setelah mereka menggunakan potensi kolaborasi. 

Penelitian-penelitian tersebut menyimpulkan bahwa manusia pada dasarnya membutuhkan penyaluran energi kompetitif mereka untuk membangun kolaborasi kompetitif seperti halnya orkestra yang memainkan musik paling indah, sehingga pemain orkestra maupun penonton sangat gembira dan bahagia (Gloor, 2017).

Kerumunan massa dilihat dengan perspektif kepemimpinan dan kepengikutan dapat dikelola sedemikian rupa untuk menghasilkan bentuk-bentuk kerjasama yang kolaboratif. Sebutlah misalnya, crowd funding yang menghasilkan pendanaan untuk membiayai berbagai misi sosial dan kemanusiaan dengan memanfaatkan kolaborasi massa, mengubah kerumunan (crowd) menjadi kawanan (swarm), membentuk solidaritas dalam keberagaman untuk mencapai tujuan umum. 

Hal ini bisa dilihat misalnya dari apa yang dilakukan Kitabisa.Com, melalui gerakan kepedulian sosialnya, memfasilitasi kolaborasi masyarakat dalam kegiatan crowd funding mengumpulkan dana untuk misi-misi sosial dan kemanusiaan (Irfan, 2016). Kita juga pernah mendengar gerakan Solidaritas Koin untuk Prita, pasien sebuah rumah sakit swasta yang dituntut membayar ganti rugi ratusan juta karena dianggap mencemarkan nama baik rumah sakit. Melalui kegiatan crowd funding Solidaritas Koin untuk Prita ini berhasil mengumpulkan sumbangan masyarakat sebesar Rp. 825.728.550, jumlah yang jauh melampaui besaran ganti rugi yang dituntutkan kepadanya (www.megapolitan.okezone.com). Ada juga Petisi Online Change.Org, sebuah gerakan sosial digital berbasis pada crowd untuk mendorong perubahan yang lebih baik, dan banyak lagi.

BELAJAR DARI KAWANAN LEBAH

Memasuki era milenial, studi dan analisa kepemimpinan dan kepengikutan dalam kerumunan massa (crowd) yang menggunakan pendekatan negatif seperti dalam teori-teori klasik, tanpa terkecuali teorinya Gustaf Le Bon (1895), sudah tidak cukup relevan lagi, baik dari sisi formasi (sebaran massa) maupun konsepsi. Sekarang kerumunan (crowd) bahkan bisa terjadi secara digital tanpa perlu saling bertemu fisik, tidak dibatasi sekat geografis sebuah negara, seperti halnya yang terjadi dalam contoh Kitabisa.Com, Solidaritas Koin untuk Prita dan Petisi Online Change.org tersebut di atas. Potensi kekuatannya untuk mendorong perubahan sosiopolitik juga sama signifikan seperti halnya kerumunan massa (crowd) yang secara fisik bertemu langsung. Hal mana mungkin ini belum terfikirkan Gustaf Le Bon ketika menulis buku The Crowd.

Seiring berkembangnya konsep tentang kerumunan (crowd), teori kepemimpinan juga mengikutinya. Keterbukaan dan konektifitas informasi sebagai ciri utama dari era milenial adalah faktor yang sangat penting untuk mendorong terjadinya transformasi konseptual. Pemimpin tidak lagi diposisikan sebagai sosok individual seperti halnya dalam teori-teori kepemimpinan lama (the old theories), melainkan sebagai refleksi dari kolektivitas atas pribadi-pribadi. Relasi kepemimpinan dan kepengikutan, baik yang terjadi pada sektor publik, privat dan komunitas akar rumput, sangat interaktif serta tidak lagi bersifat satu arah, melainkan dua arah. (Mudzakkir 2019). Kerumunan massa (crowd) dalam berbagai bentuk dan formasinya dimaknai menjadi kawanan (swarm) seperti halnya sekelompok lebah dalam koloni yang dipersatukan oleh kolaborasi peran dari masing-masing untuk mencapai kepentingan bersama.

DR.Suryantoro Waluyo, seorang praktisi SDM pada salah satu bank internasional terkemuka, dalam kesempatan wawancara di kanal Youtube "Insight on Innovation", memberikan ilustrasi yang menarik tentang bagaimana ratu lebah memimpin kawanannya. Menurutnya, dalam kepemimpinan dan kepengikutan masyarakat lebah, Ratu Lebah (Queen Bee) adalah pemimpin tertinggi, sebagai simbol sekaligus pemberi makna, tetapi bukan penentu tunggal untuk koloninya, sehingga Ia tidak memerintah apalagi memberi komando, melainkan memberi inspirasi untuk menggerakkan kawanan lebah pengikutnya melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi semua warga dalam koloni. Ilustrasi ini sejalan dengan pandangan Profesor Muhadjir Darwin yang juga disampaikan melalui kanal Youtube "insight on innovation" bahwa lebah itu masing-masing punya otonomi, mereka bekerja dengan instingnya sendiri, ada tugas masing-masing, tetapi peletakan tugas yang instingtual itu adalah untuk tujuan kolektif, yaitu membangun rumah lebah.

Dalam Swarm Leadership ada yang disebut sebagai Intelligent Swarming. Oleh Peter Miller dalam artikel yang ditulis Floris Koot berjudul Swarm Leadership I, How to Organize Without Leaders? dijelaskan bahwa ada tiga aspek yang menggambarkan sebuah Inteligent Swarming (Koot, 2016), yaitu;

  • Kemampuan Mengorganisasikan Sendiri; melalui komunikasi yang intensif dan terbuka antara semua warga. Pengorganisasian bekerja melalui kontrol yang terdesentralisasi, pemecahan masalah yang terdistribusi, dan interaksi yang intensif antar sesama warga.
  • Kerjasama Tidak Lansgung;  dalam arti bahwa kesamaan respons dan gerakan tidak didasarkan pada perintah dan komando, melainkan sebagai konsekwensi dari proses adaptasi antara sesama warga untuk saling mensupport  dan saling percaya terhadap apa yang dilakukan warga lain sebagai upaya untuk mengisi kekurangan dari apa yang tidak dapat dilakukannya, sehingga sikap yang dibangun adalah keterbukaan, kebersamaan dan kolaborasi untuk sebuah tujuan umum.
  • Keanekaragaman Pengetahuan; dalam arti 'kebijaksanaan orang banyak' yang berperan untuk menjaga kohesivitas (perekat kebersamaan), termasuk bagaimana mendengarkan dan mengakomodasi suara atau pendapat yang kurang terdengar, melihat apa yang belum dilihat orang lain. Dalam hal ini energi perbedaan pendapat dialihkan menjadi energi mendengarkan bersama untuk menemukan mana yang paling benar dalam arti mendekati kepentingan kolektif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun