Mohon tunggu...
Nani Kusmiyati
Nani Kusmiyati Mohon Tunggu... Guru - English teacher, Trainer, Writer and Woman Navy

I love teaching, writing and reading

Selanjutnya

Tutup

Book

Menumbuhkan Rasa Percaya Diri

30 September 2022   16:05 Diperbarui: 30 September 2022   16:08 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pexels-moose-photos-1036622

MENUMBUHKAN RASA PERCAYA DIRI

Beberapa orang dilahirkan dengan kepribadian pemberani dan suka tampil di depan umum, namun beberapa orang tidak. Mereka cenderung pendiam dan lebih suka bersembunyi jika mendapat kunjungan tamu penting. Mereka lebih suka sebagai pendengar dan pengamat. Mereka sebenarnya orang-orang yang pandai dan analytical atau suka menganalisa.

Pribadi ini terbentuk ketika mereka kecil di suatu lingkungan keluarga dengan banyak aturan dan budaya. Keluarga keraton di Jawa memiliki aturan yang ketat dalam mengungkapkan pendapat atau ide sebelum dipersilakan oleh yang lebih tua. Mereka tidak berani berbicara secara vulgar karena mereka takut dianggap tidak sopan.  Hal ini masih berlaku hingga sekarang.

Berbeda dengan keluarga di luar lingkungan keraton, anak-anak masih dapat mengungkapkan pendapat mereka secara terus terang kepada orang yang lebih tua atau kepada ayah ibu mereka. Namun kembali kepada karakter yang dimiliki anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga. Tentunya masih ada anak-anak yang tidak memiliki rasa percaya diri. Mereka butuh keluarga dan lingkungan untuk menumbuhkan rasa percaya diri.

Saya masih teringat ketika saya kecil, banyak teman-teman saya bilang kalau saya adalah anak pemberani.  Padahal ada rasa minder di dalam diri saya karena saya bukan dari keluarga yang berada sedangkan teman-teman memiliki ayah ibu dengan pekerjaan tetap. Seragam dan sepatu yang dikenakan tampak baru dan bersih. Mereka juga dibawakan bekal makanan atau uang jajan oleh orang tua mereka. Bahkan setiap hari ayah atau ibunya mengantar ke sekolahan. Rasanya bahagia sekali. Itu pemikiran saya pada saat saya kecil.

Saya sebenarnya merindukan momen-momen seperti itu namun saya hanya diantar ibu sekali ketika mulai mendaftar sekolah TK, selebihnya saya berangkat di temani kakak saya yang duduk di bangku SD. Kakak mengantar hingga di seberang jalan dan untungnya ada petugas sekolah yang menyeberangkan anak-anak TK. Ketika pulang saya sering berjalan bersama-sama teman-teman dan orang tua mereka yang searah dengan rumah saya. Namun terkadang saya berjalan sendiri jika kakak belum selesai pelajaran.

Saya tidak dapat menyalahkan ibu karena ibu bekerja dari pagi hingga menjelang magrib. Ibu berangkat bekerja sebelum sholat Subuh karena tempat bekerja ibu lumayan jauh dan ibu harus berjalan kaki. Sedangkan ayah berdinas di luar Jawa dan jarang pulang karena tidak ada kesempatan pulang juga karena tidak ada biaya untuk pulang dengan pesawat atau kapal laut.

Mungkin dengan kondisi tersebut saya menjadi lebih mandiri juga kakak-kakak saya. Saya dapat menutupi rasa minder saat itu dengan berfokus pada hobi yang saya miliki seperti berlari, menyanyi dan menggambar. Ketika lomba lari saya mendapat juara dua walaupun sempat jatuh karena saya tersandung batu. Sepatu satu-satunya yang saya punya sobek dan berlubang. Saat itu sebenarnya saya merasa malu, namun saya berusaha tidak begitu mengindahkan apa yang terjadi pada saya.  Setiba di rumah saya hanya bilang kepada kakak saya jika sepatu sobek. Kakak laki-laki saya menjahit sepatu saya dengan benang yang senada dengan warna sepatu dan tampak kuat.

Kondisi sederhana menempa saya untuk kuat dan memiliki percaya diri. Kondisi apapun harus bisa. Di sekolah saya juga diikutkan lomba menggambar antar TK di kota saya. Saya hanya menjadi juara ketiga dan mendapat hadiah buku gambar dan crayon. Saya sangat senang karena tidak perlu membeli buku gambar dan pensil gambar. Apapun yang diperintahkan oleh guru, saya tidak pernah menolak.

Hingga suatu hari saya diminta untuk tampil ke depan untuk bernyanyi. Langsung saja saya menyanyi lagu dangdut dewasa. Ibu guru di kelas tersenyum melihat tingkah saya namun ibu guru memberiku semangat. Teman-teman juga bertepuk tangan. Setelah pelajaran usai ibu guru menghampiri saya dan bertanya saya belajar bernyangi dari siapa. Dengan polosnya saya menjawab, dari radio tetangga yang selalu memutar lagu itu.  Saya tidak begitu perduli dengan makna lagu itu. Saya suka musiknya dan lantunan suara penyanyi yang begitu merdu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun