Mohon tunggu...
Yosef M.P Biweng
Yosef M.P Biweng Mohon Tunggu... Guru - Guru pedalaman

Musafir sebagai guru di pedalaman Papua

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Perempuan di Hadapan Allah

22 Mei 2022   10:01 Diperbarui: 22 Mei 2022   10:03 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

PEREMPUAN DIHADAPAN ALLAH:

PEREMPUAN 

YANG MELAHIRKAN DOSA SEKALIGUS KESELAMATAN

Versi Kitab Suci 

(Oleh: Yosef M.P Biweng)

  • Selayang Pandang

Ada apa dengan kaum perempuan? Lagi-lagi perempuan mendapat sorotan di berbagai bidang kehidupan, mulai dari status sosialnya, kedudukannya dalam keluarga, budaya, masyarakat, pemerintah dan gereja. Pada kebudayaan tertentu perempuan mendapat tempat yang sangat istimewa dalam beberapa suku bangsa, akan tetapi di lain tempat justru perempuan mendapat tempat dan kedudukan yang rendah bahkan sampai dianggap tidak berharga dan bernilai. Diskriminasi, ketidakadilan, terpinggirkan dan berbagai stigma yang menjadi senjata ampuh untuk memandang kaum perempuan menjadi korban.

Kaum perempuan yang memiliki martabat, status, peran dan kedudukan pada tatanan budaya dipandang rendah dibandingkan dengan kaum laki-laki. Kenapa demikian? Mungkin alas an yang sederhana bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah, tak berdaya dan sangat emosional. Namun, ini bukan suatu alasan yang tepat untuk dipakai sebagai ukuran dalam memandang dan menilai kaum perempuan. Perlu ada paradigma baru untuk meneropong dari sudut pandang yang berbeda, supaya perempuan tidak disepelekan dimana kaum perempuan itu berada, hidup dan berkarya.

Kita melihat jauh kembali ke belakang, pada zaman dulu memang kaum perempuan tidak memiliki peran di berbagai bidang kehidupan, mulai dari dalam keluarga, masyakarat, pemerintah, agama dan budayanya sendiri. Kaum perempuan terkurung dengan kodrat dan martabatnya. Peran perempuan hanya sebatas mengurus kebun, makan-minum, dan menjadi pelayan dalam kegiatan-kegiatan tertentu, bahasa gaulnya disebut urusan domestik. Namun pada zaman sekarang ini, kita bisa amati bahwa di mana-mana perempuan lebih eksis dan berperan di segala bidang, dalam keluarga, masyarakat, pemerintahan maupun dalam gereja kecuali dalam hal budaya. Budaya membatasi keikutsertaan peran perempuan di dalamnya. Perempuan dianggap di dalam budaya mendatangkan aib/masalah, jadi perempuan tidak diikutsertakan dalam budaya. Selain itu budaya menganut sistem patrialisme.  Itu tidak bisa kita pungkiri. Walaupun perempuan sudah sampai pada titik kesetaraan tertentu, dimana peran laki-laki bisa dilakukan oleh perempuan, dan sebaliknya. Tetapi perempuan tetap dipandang rendah dan lemah oleh budaya dan pada strata lainnya.

Perempuan menjadi dilematis dihadapan kaum lelaki karena budaya. Tak heran bahwa ada beberapa peristiwa yang bisa kita jumpai dalam kehidupan kita sehari-sehari. Pada situasi tertentu yang biasa menjadi korban dimana-mana adalah perempuan, kasus pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, dan lain sebagainya. Kaum perempuan menjadi objek yang takterelakan. Stigmatisasi terhadap kaum perempuan sudah menjadi hal yang biasa, bukan menjadi hal yang tabu bahwa kaum perempuan adalah kaum terlemah, tak berdaya, kaum yang mengandalkan perasaan dan berada pada garis pertahanan belakang, mereka mempunyai urusan di bagian belakang saja(urusan makan-minum).

Apakah stigmasisasi terhadap kaum perempuan ini masih akan tetap bertahan selama budaya masih mempunyai andil dalam kehidupan sosial? Atau apakah kaum perempuan akan tetap merasa lemah, tak berdaya dan terbelakang karena dicap demikian sehingga mereka menerimanya sebagai kodrat dan martabatnya. Seakan-akan hal tersebut adalah benar dan tak dapat dirubah lagi. Katanya kalau dirubah, nanti bisa mendapatkan karma/sanksi. Persis keliru, bukan?

Memang benar bahwa kaum perempuan selalu mendapat posisi dilemah. Kita tahu bahkan kita dengar dimana-mana bahwa kekerasan, diskriminasi, marginalisasi dan hak-hak dalam budaya bahwa kaum perempuan selalu disepelekan. Memang benar, bukan? Lebih lanjut lagi yang amat disayangkan adalah bahwa kaum perempuan menerima stigmatisasi itu sebagai kodrat, dengan ungkapan, " ya, kami mau bagaimana lagi, itu kodrat kami".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun