Seorang teman pengusaha yang bergelut di bidang pembuatan modul migas mengeluh suatu hari. Ia mengeluh karena dipaksa membuka akun bank di Singapore jika ingin mendapatkan proyek pengecatan modul di salah satu galangan kapal di Batu Ampar. Hampir semua lokal subcontractor asal Batam  harus membuka rekening Singapore Dollar jika ingin ikut tender proyek tersebut.
"Ini permainan licik gaya baru dari Main Contractor Singapore sebenarnya. Tujuannya untuk membuat local subcon memyimpan dananya di Singapore lalu tunduk pada kontrak kerja berdasarkan hukum Singapore", ujar si kawan.
Bagaimana mungkin proyek pembuatan modul itu dikerjakan di Batam tapi kontrak harus di Singapore? Anehnya perusahaan teman saya  itu bukan menerima kontrak kerja dari Main Contractor, namun melalui pihak ketiga.Â
Begini cerita permainan mafia di sana. Main Contractor memberi kerja kepada perusahaan X Singapore. Perusahaan X Singapore memberikan kontrak kerja kepada perusahaan Y Singapore.Â
Perusahaan Y Singapore lalu memberikan kontrak kerja kepada perusahaan subcontractor local Batam. Jelas saja keuntungan teman saya itu semakin tipis karena dipotong oleh perusahaan X dan Y itu. Tanggung jawab langsung atas nilai kontrak juga semakin tak jelas.
Beberapa kali terjadi perselisihan antara local subcontractor dengan perusahaan pemberi kerja. Pasalnya pihak main contractor mengaku sudah membayar upah kerja kepada  perusahaan X Singapore.Â
Kemudian, perusahaan X Singapore mengaku sudah membayar upah kerja kepada subcon perusahaan Y Singapore. Tapi perusahaan local subcon Batam yang punya buruh dan material sama sekali belum menerima haknya. Ujungnya perusahaan subcon local Batam dirugikan.Â
Upah buruh dan material tidak dibayar. Akhirnya ratusan buruh itu menyegel perusahaan. Mereka demo. Menuntut hak hak upah mereka yang belum dibayar. Begitulah modus licik sebagian perusahaan Singapore di Batam.Â
Rata rata perusahaan local subcontractor tidak punya posisi tawar kuat dlm bernegosiasi proyek. Ini terjadi karena jumlah perusahaan subcon Batam mencapai ratusan. Mereka bersaing keras mendapatkan proyek.
Kadang demi bertahan hidup sekedar bisa bernafas, mereka rela diperlakukan tidak adil, yang penting dapat kerja. Masalah belakangan, yang penting kerja. "Mau gimana lagi bang daripada gak ada kerja bang", ujar lirih teman saya itu.
Banyak teman teman pelaku usaha subcontractor galangan kapal akhirnya bangkrut. Mereka berada dalam posisi nilai tawar lemah. Mudah diadu domba. Sistem pembayaran bisa ditunda hingga tahunan. Ujungnya Cash flow mereka mati. Gulung tikar krn tdk mampu lagi bertahan melanjutkan pekerjaan.Â