Mohon tunggu...
Bintang Aditya
Bintang Aditya Mohon Tunggu... Pilot - Mahasiswa Studi Jarak Jauh Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan

Artikel dibuat untuk keperluan perkuliahan, sehingga sangat terbuka untuk diskusi jika ada kekeliruan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Tidak Harus Secantik Artis Korea

6 Maret 2021   15:46 Diperbarui: 6 Maret 2021   16:02 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Namun, apakah itu cocok digunakan di Indonesia? Sebagai khalayak media, kita memiliki kecenderungan untuk meniru apa yang disajikan oleh media. Di ilmu komunikasi kita mengenal teori sosial kognitif, di mana pesan media diterima oleh khalayak sebagai medium pembelajaran untuk mengenal kehidupan sosial. 

Mengacu pada teori ini, menjadi lazim ketika banyak menonton dram Korea kemudian membentuk perspektif kita tentang baik buruknya penampilan, hingga bagaimana interaksi sosial dengan keluarga atau pasangan seharusnya terbentuk.

Dengan memandang lebih dalam K-Drama dan K-Pop sebagai produk media, kita bisa melihat adanya kesalahan berpikir dalam perspektif sosial masyarakat kita. 

Sebagaimana contoh yang dipaparkan di atas, kecintaan terhadap hasil produk media membuat kita menjadikan apa yang dipresentasikan oleh media sebagai acuan. 

Padahal, tidak segala hal dari K-Drama dan K-Pop cocok kita untuk tiru. Sebagai contoh, standar kecantikan dengan mengacu pada kulit putih. Kita tahu orang Indonesia sebagian besar memiliki kulit sawo matang. 

Apakah lantas kemudian berarti semua dengan kulit sawo matang tidak memenuhi standar kecantikan? Kita memiliki keistimewaan sendiri yang mungkin jauh berbeda dengan apa yang digambarkan oleh drama Korea. 

Di sini saya ingin melihat K-Drama ataupun K-Pop sebagai sebuah produk media. Lepas dari ketampanan, kecantikan, dan talenta para artisnya, K-Drama dan K-Pop merupakan sebuah produk yang dibentuk oleh media. Oleh sebab itu, tentu penampilan artis sebagai tombak utama industri kreatif Korea pun harus sangat diperhatikan. 

Fenomena demam Korea sebagaimana sudah saya singgung di atas, disebut dengan Korean Wave atau Hallyu. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di banyak negara lain di dunia. Istilah Hallyu sendiri pertama kali digunakan oleh jurnalis di Cina. G

elombang penyebaran budaya pop Korea dimulai sejak pertengahan 1990 hingga pertengahan 2000, di mana drama tv Korea dan K-Pop mulai mendapat kepopuleran di Cina dan Jepang (Korean Culture and Information Service (KOCIS), n.d). 

Sejak saat itu pula, istilah Hallyu dipakai untuk menggambarkan euforia penyebaran budaya Korea di kalangan anak muda. Dari negara tetangga, gelombang Korea kemudian merambah ke negara lain di Asia, termasuk Indonesia. 

Kepopuleran industri seni kreatif Korea Selatan terus melonjak hingga menjangkau ranah Hollywood. Seperti film Parasite yang berhasil memenangkan penghargaan Oscar 2020 dalam sejumlah kategori. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun