Yang mana itu tentunya menimbulkan pemikiran ... bahwa kondisi ataupun perlakuan yang diterima oleh suatu mahluk sangat menentukan bagi kondisi psikisnya, sehingga bila diingini agar kondisi psikis mahluk yang bersangkutan berada dalam keadaan yang diingini ... maka kondisi lingkungan serta perlakuan kepada mahluk yang bersangkutan pun harus diupayakan berada pada suatu kondisi sedemikian rupa.Â
Terkait dengan rasa takut dan permusuhan, maka faktor yang menjadi sumber dari rasa itu pun kiranya dihilangkan (yaitu rasa sakit), dikurangi hingga tingkat seminim mungkin. Karena itu jangan menyakiti. Terkait dengan "ingatan kolektif" (ingatan yang terjadi ketika suatu peristiwa/kejadian dilihat oleh mahluk lainnya dan terekam dalam ingatannya) atau entah sebutan apa yang tepat, jangan pula membunuh. Disebabkan rasa kehilangan yang dialami oleh relasi/famili dari mahluk yang dibunuh pun akan dipersepsi sebagai rasa sakit yang kemudian berkembang menjadi rasa takut.Â
Hal serupa kiranya juga dialami oleh manusia *, bahkan pada beberapa kasus mungkin akan didapati adanya kecenderungan kondisi psikisnya relatif lebih rentan. Â
Baru saja tertawa lebar saat 'nonton pertunjukkan komedi, 1 menit kemudian bisa 'nangis disebabkan karena mendengar berita orang yang dikasihi meninggal dunia.
* Terkait rasa permusuhan itu, itu juga akan berkembang menjadi "rasa-rasa" lainnya, termasuk diantaranya adalah rasa senang yang muncul ketika seseorang berhasil mengalahkan musuhnya dalam suatu kondisi win-lose (perang). Â Yang bersangkutan merasa tenang, nyaman, karena dengan mengalahkan musuhnya itu maka kemungkinan baginya untuk merasakan rasa sakit akibat tindakan yang dilakukan oleh musuhnya itupun menjadi tiada. Padahal rasa itu timbul semata karena persepsi manusia ... akibat hilangnya rasa takut untuk mengalami rasa sakit itu.
 Sehingga kalau mau dirunut, rasa itu (tenang, nyaman, aman, tentram) sebenarnya sudah ada ketika manusia yang bersangkutan tidak berada dalam kondisi takut akan rasa sakit itu, atau bahkan juga pada saat-saat  dimana ia tidak mengalami rasa sakit (tergantung individu yang bersangkutan, sudah sejauh mana tingkat pemahamannya akan hidup). Ini bisa dilihat dari tingkah laku bocah umur kurang dari 3 tahun, yang berada dalam kondisi terawat/terpelihara/penuh kasih sayang disekitarnya. Banyak senyum dan tawa yang dilontarkannya.Â
Walau begitu mungkin akan didapati jua, mereka-mereka yang telah berada dalam kondisi tenang, nyaman itu malah merasa bahwa dirinya sedang mengalami kehampaan/kekosongan hidup. Terkait fenomena tersebut, ada kecenderungan itu sepenuhnya merupakan persepsi dari manusia yang bersangkutan terkait dengan "informasi" apa saja yang telah didapatnya.Â
Misal, bila ada seseorang yang berpegang erat kepada "no pain no gain", ketika ia tidak mendapati adanya "pain" maka ia pun merasakan tidak akan ada "gain" yang akan didapat/dirasakan. Yang agak susah adalah ketika seseorang merasa "tidak hidup" disebabkan karena untuk dapat "hidup" bila ia bisa membuat "pain". Itu kasus yang berbeda, benar-benar berbeda. :)
Bicara mengenai proses penataan, maka tentu kiranya kita tidak meletakkan tujuan dari penataan itu berdasar kemauan/kehendak yang timbul dari kondisi psikis sesaat. Bisa tidak karu-karuan nanti jadinya, baik dalam proses ataupun hasilnya. Hari ini rencana bikin gedung tingkat 2, proses pembangunan belum selesai ... ganti rencana bikin gedung (yang sama) tingkat 5 karena lagi pengin aja 'gitu, belum lagi kelar ... kemudian ganti rencana lagi untuk tidak usah ditingkat. Bisa dibayangkan sendiri, mengenai waktu, tenaga dan juga sumber daya alam yang terbuang percuma karenanya.
Bersambung ...
Peeeace 4 all