Busana liturgi dalam Gereja Katolik memiliki sejarah yang panjang dan sangat kuat dipengaruhi oleh warisan tradisi Yahudi kuno dan Kekaisaran Romawi. Hampir semua busana liturgi Gereja Katolik diadopsi dari pakaian sehari-hari tradisi Yahudi kuno dan juga tradisi kekaisaran Romawi. Sebelum Kekristenan menyebar ke daratan Eropa, Yesus bersama para rasul kerap juga menggunakan pakaian tradisi Yahudi seperti busana panjang, mantel, tallit dan busana lainnya pada saat mereka berekeliling melaksanakan tugas perutusan.Â
Pada abad pertama dan kedua, setelah kekristenan menyebar ke wilayah Romawi busana litrugi kemudian dipengaruhi oleh budaya Romawi. Bagaimana proses adopsi busana liturgi yang berasal dari tradisi Yahudi kuno dan kekaisaran Romawi masuk dalam Gereja Katolik, mari kita simak penjelasan berikut ini.
Asal mula Alba dari tradisi Yahudi dan Romawi
 Pada awalnya maksud penggunaan jubah panjang oleh para klerus untuk membedakan mereka dari umat atau awam. Seiring berjalanya waktu, pada abad ke 6, alba yang bermula dari tunik atau cassock resmi menjadi pakaian klerus dalam Gereja Katolik. Secara tradisional, alba dalam Gereja Katolik selalu berwarna putih, tanpa variasi warna. Mengapa demikian karena alba melambangkan kemurnian dan kekudusan, serta selalu dikaitkan dengan pakaian putih yang dikenakan oleh orang-orang kudus, sebagaimana diillustrasikan dalam Kitab Wahyu (Wahyu 7:9). Sejak semula alba menjadi pakaian resmi busana liturgi Gereja Katolik tidak ada variasi warna yang diperbolehkan untuk alba itu sendiri, karena putih adalah warna standar dan wajib seperti itu.Â
Dalam dokumen General Instruction of the Roman Missal (GIRM), pasal 336, ditegaskan bahwa alba adalah pakaian dasar yang dikenakan oleh semua yang melayani dalam liturgi, dan harus berwarna putih. "The alb, worn by priests, deacons, and other ministers, is to be white and should completely cover one's personal clothing." Aturan ini semakin ditegaskan dalam dokumen Redemptionis Sacramentum yang diterbitkan oleh Kongregasi untuk Ibadah Ilahi dan Tata Tertib Sakramen dikatakan, pentingnya menjaga kekudusan liturgi dan aturan tentang busana liturgis. Alba harus dikenakan dengan benar dan selalu berwarna putih.Â
Penggunaan warna lain atau penyimpangan dari aturan standar tidak diperbolehkan. "All ordained ministers and other ministers who assist at the altar must wear the appropriate sacred vestments prescribed by the rubrics, including the alb, which is always white." Demikian juga dalam dokumen Sacrosanctum Concilium menegaskan bahwa busana liturgis harus mencerminkan kesakralan liturgi dan menjadi tanda yang mendalam bagi umat beriman. Warna yang mendukung keskralan itu adalah putih. Sesuai dengan aturan Gereja yang diatur dalam dokumen Caeremoniale Episcoporum (1984) yaitu Buku upacara liturgis dijelaskan secara rinci tentang tata cara liturgi yang dilakukan oleh para uskup dan juga mencakup aturan mengenai busana liturgis. Dalam dokumen tersebut dikatakan bahwa alba adalah busana putih yang digunakan oleh semua klerus dan pelayan dalam misa, terutama ketika melayani di altar.
Warna yang mendukung keskralan itu adalah putih
Asal mula Kasula ( Chasuble ) dari Tradisi Yahudi Kuno dan Tradisi Romawi
Dalam Kel 28 : 4-43 dikatakan bahwa imam besar atau pemuka Agama Yahudi harus memakai efod dan hosen. Pakaian itu digunakan saat imam besar melayani doa di Bait Allah. Efod dan hosen merupakan simbol kekudusan tugas imam besar. Efod dirancang dengan berbagai paduan warna dan batu permata untuk melambangkan ke12 suku Israel. Ketika efod dipakai imam besar itu hendak menyatakan fungsinya sebagai perantara antara Allah dengan umat-Nya. Selain efod dan hosen ada juga busana yang disebut Talit (atau shawl doa). Pakaian ini sering dipakai oleh para pria Yahudi ketika mengikuti liturgi Yahudi. Talit merupakan kain berumbai yang digunakan sebagai simbol pengabdian diri kepada Allah. Busana yang kurang lebih mirip juga ditemukan dalam kekaisaran Romawi yakni paenula ("rumah kecil"). Paenula adalah jubah atau mantel luar yang terbuat dari wol tebal atau kulit, berbentuk bulat dan memiliki lubang di tengah.Â
Busana ini biasa dipakai oleh kalangan umum, para prajurit, pelancong, dan pejabat Romawi yakni para senator. Sejak abad ke-4 hingga ke-6 M, ketika Kekristenan menjadi agama resmi Kekaisaran Romawi oleh Kaisar Konstantinus pada tahun 313 M melalui Edikta Milan, busana ini diadopsi sebagai pakaian resmi para klerus. Dalam Kanon Konsili Toledo IV (633 M) dan Surat Paus Gregorius Agung dikatakan paenula menjadi pakaian resmi yang wajib dikenakan para klerus setiap kali dia memimpin perayaan liturgi atau misa. Selama abad pertengahan, casula mengalami modifikasi dalam bentuk, dekorasi, dan warna, yang disesuaikan dengan kalender liturgi dan simbol-simbol keagamaan. Setelah melalui proses yang panjang, pada abad ke-12, chasuble atau casula sepenuhnya diintegrasikan sebagai busana utama liturgi untuk perayaan Ekaristi oleh para imam di seluruh Gereja Barat.