Sebagai mahasiswa yang hidup di era krisis iklim dan transisi energi, saya sering bertanya-tanya: mengapa Indonesia, negara dengan potensi panas bumi terbesar kedua di dunia, justru belum serius mengembangkannya? Kita sering mendengar pemerintah bicara tentang energi terbarukan, tapi perhatian lebih banyak tertuju pada panel surya dan turbin angin. Padahal, secara geografis, Indonesia punya “harta karun” energi panas bumi yang melimpah berkat posisinya di Cincin Api Pasifik. Sayangnya, potensi besar itu masih lebih banyak disimpan di atas kertas daripada diwujudkan di lapangan.
Energi geothermal sebenarnya bisa menjadi solusi konkret untuk mengurangi ketergantungan kita terhadap batu bara dan gas alam. Energi ini stabil, tidak tergantung cuaca, dan lebih ramah lingkungan. Namun kenyataannya, pengembangan geothermal di Indonesia masih terbentur banyak masalah — mulai dari biaya eksplorasi yang mahal, minimnya insentif bagi investor, hingga tumpang tindih regulasi antara pemerintah pusat dan daerah. Akibatnya, proyek-proyek panas bumi berjalan lambat, padahal sumber dayanya melimpah di banyak wilayah seperti Jawa Barat, Sumatera, dan Sulawesi. Ironi sekali, negeri dengan gunung berapi terbanyak justru belum mampu memanfaatkan panasnya untuk menyalakan listrik secara maksimal.
Sebagai generasi muda, saya percaya kita tidak boleh terus-menerus menunggu perubahan datang dari atas. Kesadaran terhadap energi hijau harus tumbuh dari kampus, dari ruang diskusi, dan dari mahasiswa yang peduli akan masa depan lingkungan. Geothermal bukan hanya isu teknis, tetapi juga cerminan cara kita menghargai potensi alam negeri sendiri. Sudah saatnya pemerintah, akademisi, dan masyarakat bekerja sama menjadikan panas bumi sebagai bagian utama dari transisi energi nasional. Kalau bukan kita yang mendorong perubahan itu sekarang, kapan lagi?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI