Maraknya bullying di sekolah hari-hari ini sesungguhnya hanya gejala permukaan. Di baliknya ada kegagalan berlapis: rumah yang tak aman, sekolah yang minim empati, masyarakat yang sibuk mengejar angka tanpa memeluk jiwa. Selama lapisan-lapisan itu dibiarkan retak, korban dan pelaku sama-sama terlantar dan keduanya butuh diselamatkan.
Ledakan Angka yang Tak Bisa Lagi Dianggap "Kenakalan"
-
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat 573 kekerasan di lingkungan pendidikan sepanjang 2024, melonjak 100% dibanding 2023; 31% di antaranya adalah bullying.
KPAI menerima 141 aduan kekerasan anak hanya dalam triwulan I-2024; 35% terjadi di sekolah dan 48% korban yang mengakhiri hidup masih berseragam.
Faktor keluarga juga genting: UNICEF 2021 menemukan 20,9% anak Indonesia hidup dalam situasi fatherless, kehilangan peran ayah secara emosional.
Angka-angka ini menunjukkan pola sistemik, bukan insiden terpisah.
Anatomi Kegagalan Berlapis
Rumah: pabrik luka pertama
-- Lingkungan penuh bentakan, kemiskinan, perceraian, dan fatherless menciptakan anak yang tumbuh tanpa role model pengelola emosi.
-- Kekerasan domestik memantul ke luar. Pelaku sekolah sering kali korban di rumah lebih dulu.Sekolah: ruang belajar atau panggung balas dendam?
-- Budaya senioritas, lemahnya deteksi dini membuat kekerasan berulang.
-- Di SMPN 3 Doko, Blitar, seorang siswa kelas 7 dikeroyok 20 teman saat MPLS; pejabat dinas sempat mengecilkan kasus dengan menyebut "korban baik-baik saja".Masyarakat & sistem: abai dan permisif
-- Viral di medsos baru memicu tindakan; sebelum itu, kekerasan dianggap "bumbu kedewasaan".
-- Payung regulasi ada, tapi implementasi TPPK (Tim Pencegahan & Penanganan Kekerasan) di banyak sekolah masih seremonial.