Bank Indonesia akan meluncurkan sistem Payment ID pada 17 Agustus 2025 sebagai bagian dari Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2030. Sistem ini menggunakan kode unik berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang mampu mengintegrasikan seluruh aktivitas keuangan individu, mulai dari transaksi e-wallet, rekening bank, kartu kredit, hingga pinjaman online.
Meskipun diklaim untuk meningkatkan transparansi dan mencegah penipuan, Payment ID sebenarnya menciptakan infrastruktur pengawasan massal yang sangat invasif terhadap kehidupan finansial masyarakat Indonesia. Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI, Dudi Dermawan, secara terang-terangan menyatakan bahwa melalui sistem ini, BI dapat mengetahui pendapatan, pengeluaran, tanggungan finansial, bahkan keterlibatan seseorang dalam pinjaman online dan investasi.
Saya mencoba merangkum beberapa poin yang menjadi fokus, diantaranya :
1. Dari Segi Risiko Regulasi dan Kepatuhan Hukum
- Ketidakjelasan Landasan Hukum
Payment ID beroperasi dalam kekosongan hukum yang berbahaya. Sistem ini tidak diatur dalam undang-undang khusus yang memberikan perlindungan memadai terhadap data pribadi warga negara. Meskipun Indonesia memiliki UU No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi, implementasi Payment ID berpotensi melanggar prinsip-prinsip dasar perlindungan data karena:
Tidak ada persetujuan eksplisit dari pemilik data untuk pengumpulan dan penggunaan data finansial secara massal
Minimisasi data tidak diterapkan - sistem mengumpulkan seluruh riwayat transaksi tanpa mempertimbangkan relevansi
Tujuan penggunaan data tidak terbatas - dapat digunakan untuk berbagai keperluan pemerintah tanpa batasan jelas
- Potensi Pelanggaran Konstitusional
Payment ID berpotensi melanggar Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 yang menjamin hak atas perlindungan diri pribadi. Sistem pengawasan menyeluruh terhadap aktivitas finansial tanpa curiga khusus merupakan bentuk "unreasonable search" yang bertentangan dengan prinsip konstitusional.