Mohon tunggu...
Bambang Gareng Nilwarto
Bambang Gareng Nilwarto Mohon Tunggu... Bidang kesehatan -

Perantau di negeri dingin dengan one way ticket. Selalu merindukan nasi pecel, rempeyek dan tempe goreng. Tidak terverifikasi! Bawel, ngèyèlan, sok tahu, sok pinter.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membakar Masjid? Menghancurkan Gereja? Neraka Hukumannya? Surga Hadiahnya?

19 Juli 2015   13:21 Diperbarui: 19 Juli 2015   13:49 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

kira-kira 8 tahun yang lalu, saya kadang menulis suatu pemikiran yang (menurut saya) filosofis dalam sebuah blog saya. Berdebat (atau lebih cocok: berdiskusi dan bercengkerama) dengan rekan-rekan (yang sudah dewasa) di situ, rasanya berbeda dengan suasana di Kompasiana ini.

Kadang saya berpikir, apakah sudah terjadi perubahan? Atau waktu itu rekan-rekan saya "lain"?

Menyimak kejadian-kejadian beberapa tahun terakhir ini tentang agama dengan segala permusuhannya dan segala perdebatannya, saya tergerak untuk mng"copy paste" tulisan saya tersebut und ditayangkan di sini. Rekan-rekan yang ingin membaca dalam blog aslinya dengan perdebatannya saya persilakan meluncur ke sini.

Saya sudah tidak katif lagi dalam blog tersebut. Jadi, kalau ada yang ingin mengkritik saya, monggo di sini saja.

Tulisan ini sudah saya ubah sedikit.

 

Wong apik, wong elek. Neraka untukmu, surga untukku?

Orang yang bagaimanakah sebetulnya orang yang baik?
Haruskah dia beragama? Dan apakah kalau beragama/berkepercayaan secara taat dia automatis bisa langsung dikategorikan sebagai seorang baik? Kalau tidak beragama, apakah dia langsung bisa dicap orang jelek? Jahat? Laknat? Seperti setan penghuni WC? Neraka untuknya? Takdirnya berenang dalam air comberan? Ataukah bisa juga dia seorang yang baik?Penuh kasih dan toleransi?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas akan saya bahas dalam posting lain.

Posting ini ialah ekspresi pemikiran saya pribadi mengenai perjalanan hidup. Bagaimana seseorang sebaiknya melakukan sesuatu, tidak peduli dia seorang yang beragama, seorang yang berkepercayaan atau seorang yang tidak menyembah siapapun. Karena ini bagi saya merupakan pendukung untuk mengerjakan sesuatu dengan baik dan ini merupakan salah satu langkah pertama untuk menjadi seorang yang baik.

Menurut kepercayaan yang saya ikuti dan menurut sanubari saya, sebelum melakukan/melaksanakan sesuatu pekerjaan atau aksi, kita harus melalui langkah-langkah berikut ini: “membaca”, merasakan, bertanya dan mengerti, meneliti/menyimaki pengertian yang kita peroleh kemudian melaksanakan dan setelah itu “menengok lagi ke belakang”. Saya sengaja tidak mencantumkan “berdoa”, karena hal ini untuk saya adalah sesuatu yang mutlak dan tidak perlu diperdebatkan, biarpun cara berdoa atau bersyukur tentu berbeda-beda.

  1. Kenapa saya tulis “membaca” dalam tanda kutip?
    Karena maksud saya membaca bukan hanya membaca tulisan saja, tetapi juga “membaca” keadaan, lingkungan, situasi dll., dan tentu saja “membaca” sesama manusia yang terkait dengan pekerjaan atau aksi tersebut. Tentu saja penting juga membaca sumber tuntunan yang kita percayai. Al Qur’an untuk Islam, Injil untuk Kristen dst. Bagi agama atau kepercayaan yang tidak mempunyai guidelines tertulis, ya sumbernya adalah pengalaman-pengalaman para pendahulu (yang biasanya juga harus disimaki dengan sangat berhati-hati).
  2. Merasakan: karena menurut sistem kepercayaan saya, “rasa” itu tidak kalah pentingnya dengan yang lain, bahkan kadang “rasa” itu bisa meluruskan akal yang keblinger.
  3. Setelah itu, mungkin ada sesuatu yang masih mengganjal dalam hati, maka kita seharusnya bertanya-tanya untuk melengkapkan penerangan jalan yang akan kita tempuh. Tidak usah saya tulis lagi, kenapa kita harus berhati-hati juga dalam menerima dan meresapi jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan.

 

  1. Langkah selanjutnya, kalau menurut jalan hidup saya, menyimaki „pengertian“ yang kita peroleh itu. Apakah betul? Apakah ada yang masih harus diperhatikan? Terkadang masih ada saja batu sandungan yang tersembunyi di balik selembar daun dan masih bisa membuat kita jatuh.
  2. Sekarang tentu saja datang giliran pelaksanaannya. Selama proses pelaksanaan tersebut, tentu saja kita tidak boleh mengabaikan, bahwa masih ada kemungkinan kesalahan yang masih terselip masih bisa diperbaiki atau kesalahan itu sebegitu kecil, sehingga tidak mempunyai pengaruh yang berarti bagi hal ini secara keseluruhan. Jadi kontrol selama pelaksanaan.
  3. Pada ujung proses tersebut, sebaiknya kita “menengok kebelakang” sekali –dua kali lagi, untuk melihat, adakah kesalahan yang telah kita perbuat dan tidak terlihat atau adakah sesuatu yang masih bisa diperbaiki. Semua ini penting untuk bekal langkah-langkah di hidup selanjutnya.
  4. Semua itu tentu saja tidak terlepas dari kemurahan “Yang menciptakan kita“, baik Beliau kita sebut Allah, Brahma, Manitou, Thian, Tuhan atau apapun. Karena itu berdoa atau bersyukur merupakan landasan yang pokok bagi langkah-langkah kita. Tanpa dialog dengan yang Maha Kuasa, seolah kita melangkah di rawa-rawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun