Mohon tunggu...
Bes
Bes Mohon Tunggu... -

nama saya bes

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Kenapa Timnas selalu kalah? (Part 1)

16 November 2014   15:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:41 1431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1416101617536236368

Walaupun anda bukan pecinta sepak bola tapi pasti muncul di benak anda kenapa Tim Nasional Sepak Bola Indonesia selalu kalah? Kemarin, Tim sepak bola negara damai Indonesia baru saja menerima kekalahan 2-0 dari negara yang sedang dilanda perang sipil Syria.

[caption id="attachment_375780" align="alignnone" width="300" caption="TIMNAS (gambar : okezone.com)"][/caption]

Kenapa negara sebesar Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta tidak dapat menemukan 11 orang saja yang piawai mengolah si kulit bundar. Namun setiap kali mendengar kata Timnas Indonesia, dada selalu bergetar dan darah mengalir lebih deras. Itulah yang dinamakan Cinta, cinta akan Indonesia. Jadi sejelek dan seburuk apapun Tim Nasional Indonesia, kita akan selalu menemukan cara untuk mendukung dan mencitainya.

Sebagai pecinta dan pemerhati sepak bola nasional, berikut saya berikan 10 alasan, kenapa Timnas Indonesia "akan" selalu kalah ?

1.Indonesia terlalu cinta sepak bola

Indonesia terlalu cinta sepak bola, namun kecintaan tersebut terkadang dibutakan oleh fanatisme para supporter. Para supporter yang mencintai klub dan timnas kesayangan mereka melebihi apapun. Hal ini kemudian terkadang akan menjadi pemicu konflik. Kadang kala cinta yang berlebihan tidak baik, bahkan cenderung mengurangi atau menghilangkan efek cinta itu sendiri. Jika tim kesayangan mereka tidak menang, atau bermain kurang memuaskan, para supporter terkandang melampiaskan kekesalan mereka di dalam stadium hingga di luar stadium. Jangan sampai nasionalisme akhirnya berubah menjadi fanatisme.

Hal ini kemudian menumbuhkan rasa takut kepada para pemain dan supporter lainnya. Hingga akhirnya pressure yang berlebihan ini membuat para pemain takut dan akhirnya cenderung tidak bermain lepas. Selalu bermain under pressure yang berlebihan akhirnya berujung permainan buruk dilapangan.

Begitu juga Tim nasional. Jika saatnya genderang piala AFF berkumandang, maka sontak rasa nasionalisme para supporter naik dan ekspektasi pun akan meroket. Namun ekspektasi kadang kala tidak sesuai dengan hasil di lapangan. Supporter harus lebih cinta kepada sepak bola itu sendiri, dan harus percaya juga akan proses. Tengok saja Timnas U-19 mereka bermain under pressure dan akhirnya mampu menampilkan yang terbaik dan akhirnya memberikan prestasi.

Kita harus belajar kepada negara besar sepak bola seperti Brazil. Walaupun mereka di gadang-gadang akan menjuarai piala dunia dan akhirnya dipermalukan oleh Jerman 7-1 di semifinal namun hal itu tidak membuat supporter Brazil menjadi anarkis dan tetap mencintai Timnas mereka. Bagi mereka, pada akhirnya sepak bola hanyalah sebuah olahraga semata. Ini pembelajaran yang berharga buat kita, masyarakat Indonesia.

2. Indonesia tidak memiliki budaya sepak bola

Negara Indonesia punya beraneka ragam budaya, namun tidak memiliki budaya sepak bola. Di Indonesia Sepak bola hanyalah sebuah permainan yang dimainkan di akhir pekan ataupun di sore hari. Orang-orang tidak menganggap sepak bola adalah sebuah pekerjaan, orang tua cenderung tidak akan mengarahkan anaknya agar dia menjadi pesepak bola profesional.

Terpengaruh oleh sistem sepak bola di Indonesia yang masih butuh pembenahan dan gaji yang tidak seberapa, akhirnya bibit muda sepak bola Indonesia lebih memilih melakukan hal lain. Tidak seperti di Afrika ataupun di Amerika Latin, sepak bola adalah hidup. Di Afrika misalnya, jika dalam sebuah keluarga ada anak yang mahir bermain sepak bola maka, keluarga tersebut akan menganggap anaknya menjadi tambang emas keluarga  jika pada akhirnya dia mampu bekerja di Eropa.

Di Indonesia juga Timnas tidak memiliki gaya bermain spesifik. Apakah menyerang ataupun gaya bertahan. Tidak ada kejelasan gaya permain cenderung karena mengikuti komposisi pemain dan pelatih yang ada. Dengan budaya sepak Bola yang mendarah daging, timnas Italy misalnya terkenal dengan disiplin pertahanannya, atau Timnas belanda dengan Total Footballnya. Ini adalah tantangan buat Tim Indonesia.

3. Kurangnya pembinaan usia dini di Indonesia

Sepak bola di Indonesia dimulai pada usia remaja sedangkan di Eropa pembinaan dimulai dari usia dini. Sebut saja sebuah klub sepak bola di kota Lyon tempat saya tinggal, Olympique Lyonnais selalu merekrut para pemain untuk berlatih di tempat pembinaan mereka sejak usia 6 tahun. Sejak usia sedini itu pula, anak-anak tersebut diajarkan untuk berkompetisi. Hingga akhirnya mereka beranjak remaja dan akhirnya siap untuk menjajaki dunia profesional.

Pembinaan bisa disiapkan dengan system kompetisi dengan usia yang berjenjang di klub pembina masing-masing. Di Indonesia walaupun sudah mulai banyak klub yang membina para pemain muda namun, itu hanya berlaku di pulau jawa dan sumatra, pulau-pulau di timur masih belum terjangkau dan terkadang tempatnya terbatas.

Coba bayangkan jika pembibitan dimulai sejak dini dan merata bahkan menjangkau pencarian bakat anak-anak berbakat dari seluruh penjuru tanah air secara sistematis, akan ada banyak tunas tunas muda sepak bola harapan bangsa. Lagi-lagi dengan contoh timnas U-19 yang dibibit sedemikian rupa akhirnya mampu menunjukkan potensi maksimal mereka. Walaupun masih kurang maksimal di Piala Asia kemarin, namun tunggu 5-10 tahun lagi, di usia emas mereka, saya yakin Indonesia akan unjuk gigi di Asia Tenggara bahkan di Asia, dan kenapa tidak bahkan di tingkat di dunia.


4. Konflik berkepanjangan di tubuh PSSI

Anak ayam tidak bisa hidup sendiri, tidak bisa makan sendiri, masih harus diajati dan di tuntun oleh sang Induk Ayam. Begitu pula dengan Timnas kita yang masih kecil. Timnas kita adalah tim sepak bola kecil dia Asia, lebih tepatnya lagi di Asia Pasifik. Oleh karena itu lembaga tertinggi PSSI menjadi penopang dan harus menjadi pondasi dasar rumah sepak bola Indonesia.

Namun bagaamana pondasi bisa bagus, jika selalu saja ada konflik di tubuh PSSI. Organisasi yang semestinya berbau olah raga namun kini cenderung menghadapi berbagai persoalan dan bahkan politik. Semua petinggi organisasi saling berebut kue politik yang akhirnya berujung pada konflik yang berkepanjangan. Sebut saja kasus pemimpin sebelumnya, Nurdin Khalid yang tersandung kasus korupsi namun tidak mau lengser hingga akhirnya memimpin PSSI dari penjara. Belum lagi kontroversi Liga Premier Indonesia yang pada tujuan awalnya ingin membantu meningkatkan sepak bola Indonesia hingga pada akhirnya berujung pada teguran FIFA karena liga Indonesia yang semakin tidak jelas.

Walaupun pada akhirnya PSSI kini dipimpin oleh Bapak Djohar Arifin dan akhirnya ada sedikit perubahan tapi sebelumnya konflik selalu terjadi di tubuh PSSI masih meninggalkan luka yang mendalam bagi dunia sepak bola Indonesia. Kondisi ini harus segera disikapi dengan baik karena memberikan pengaruh besar dalam perkembangan dan pembinaan dunia persepakbolaan tanah air.

5. Terlalu banyak pemain asing di Liga Indonesia

Kualitas liga Indonesia ditingkatkan dengan klub-klub papan atas Indonesia yang bersolek dengan membenahi stadium, sarana dan prasarana hingga akhirnya mendatangkan pemain pemain asing berkualitas. Datangnya pemain asing ke Indonesia kemudian menjadi bisnis yang sangat menggiurkan kepada para agen, bukan pada klub. Pemain kulit putih, hitam hingga pemain asia datang dari berbagai penjuru dunia di datangkan untuk meningkatkan kualitas liga.

Namun jumlah pemain asing yang terus meningkat hingga akhirnya sulit untuk di tampung oleh klub. Selain gaji yang terbilang cukup besar, juga tidak semua pemain asing memenuhi kriteria pemain hebat yang dicari oleh klub. Sebut saja kisah pemain persis solo yang meninggal karena sakit tipes dan tidak dirawat secara benar karena gaji yang tak urung dibayar. Atau pemain asal Rusia yang digadang-gadang menjadi mesin pencetak gol malah menjadi penjual jus buah di pinggir jalan.

Kalau mendatangkan para pemain asing hanya untuk dipertontonkan atau dibunuh secara perlahan, lebih baik tidak usah. Dengan menumpuknya jumlah pemain asing, pemain lokal kita akhirnya jadi tidak dipercaya dan tidak dapat kesempatan untuk bermain lebih banyak. Hal ini harus menjadi perhatian kita semua, karena efeknya akan sampai ke Tim Nasional.

Padahal jika kita lihat dan amati, dari Sabang sampai Merauke, potensi sangat besar. Sebagai contoh konkrit, para pemain U-19 diambil melalui seleksi yang ketat dari Sabang sampai Merauke, dan akhirnya melahirkan putra bangsa yang siap mengibarkan Sang Saka Merah Putih di pentas dunia

To be continued ...

BES.T

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun