Gerakan kepanduan yang pertama kali ada di bumi Nusantara pada 1912 didirikan oleh P. Joh Smits, seorang pandu asal Belanda yang menjadi pegawai Jawatan Meteorologi di Batavia. Dimulai dengan sebuah kelompok kecil di Batavia dan Meester Cornelis (sekarang bernama Jatinegara di wilayah Jakarta Timur), gerakan kepanduan berkembang dengan cepat di Hindia-Belanda.
Setelah Indonesia merdeka, gerakan kepanduan yang sempat sedikit terhenti dan agak kurang berkembang di masa penjajahan Jepang, kembali bergerak. Berbagai materi kepanduan dari zaman Hindia-Belanda, mulai disesuaikan dengan kebutuhan di negeri yang baru merdeka ini.
Termasuk, upaya mencari tokoh-tokoh yang dapat dijadikan panutan bagi para pandu di Indonesia. Ini bukan berarti meniadakan keberadaan Bapak Pandu Sedunia, Lord Baden-Powell, dan istrinya yang dianggap sebagai Ibu Pandu Sedunia, Lady Olave Baden-Powell. Namun, gerakan kepanduan di Indonesia mulai mencari tokoh-tokoh nasional yang dapat dijadikan contoh atau panutan bagi para pandu.
Untuk para pandu putra, dua nama tercatat dijadikan panutan, yaitu Pangeran Diponegoro dan Jenderal Soedirman. Belakangan, muncul pula tokoh-tokoh nasional lain yang dijadikan idola. Mulai dari Imam Bonjol, Sisingamangaraja XII, GSSJ Ratulangie, I Gusti Ngurah Rai, dan banyak lagi.
Lalu di kalangan pandu putri, pada masa-masa awal Kemerdekaan RI, salah satu tokoh nasional yang banyak dijadikan contoh panutan adalah Raden Ajeng Kartini. Setiap tanggal lahir Kartini, 21 April, diadakan peringatan dan perayaan besar-besar di lingkungan pandu putri.
Cukup banyak dokumentasi dan arsip sejarah yang menyebutkan keberadaan Kartini sebagai tokoh panutan pandu putri. Salah satunya adalah lembaran lagu "R.A. Kartini" yang dicetak dan dibagikan Kwartir Pandu Putri dari Pandu Rakjat Indonesia cabang Purworejo. Arsip ini merupakan koleksi Kak Suherman Tan, seorang kolektor memorabilia kepanduan Indonesia.
Tiap tanggal kelahiran Kartini, diadakan peringatan. Salah satu mata acaranya adalah menyanyikan lagu R.A. Kartini. Lagu yang diciptakan Wage Rudolf Supratman, yang juga merupakan pencipta lagu kebangsaan "Indonesia Raya".
Menarik pula diperhatikan dalam lembaran lagu milik Kak Suherman Tan itu, tercetak bait kedua lagu itu, yang tidak sering dinyanyikan:
"Ibu kita Kartini
Putri Djauhari