Mohon tunggu...
Berty Kristina Napitupulu
Berty Kristina Napitupulu Mohon Tunggu... Guru - Berjalan bersama dengan Tuhan

Pembelajar seumur hidup untuk memanusia dan memanusiakan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dosa Lidah

13 Maret 2021   11:00 Diperbarui: 13 Maret 2021   11:06 1270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seorang guru menceritakan keprihatinannya terhadap salah satu murid disekolah yang diajarnya, dimana ia merasa guru-guru lain hanya memperguncingkan tanpa memikirkan perasaan si Murid. Murid yang memiliki seorang Ibu yang bekerja "menjual tubuhnya", hidup dalam kemiskinan, tanpa mengetahui siapa ayahnya. Singkat cerita, dia selalu menjadi perguncingan diantara guru-guru; sekedar berguncing bukan untuk mencari solusi bagaimana mendidiknya. Ini salah satu contoh dosa lidah. 

Lidah adalah salah satu bagian tubuh yang kecil tetapi sangat sensitif, bahkan menjadi petunjuk apakah secara jasmaniah seseorang itu sehat atau tidak. Itu sebabnya seorang dokter selalu lebih dahulu memeriksa lidah sebagai pemeriksaan awal pada pasiennya. Demikian juga lidah dapat menjadi alat penunjuk kesehatan "spiritualitas" (relasi dengan Tuhan) seseorang. Untuk menjelaskan hal ini, Yakobus 3:2 memberikan prinsip dasar, bahwa jika manusia dapat mengontrol perkataannya, maka pasti dapat mengontrol seluruh perbuatannya.

 Yakobus 3:2 Sebab kita semua bersalah dalam banyak hal; barangsiapa tidak bersalah dalam perkataannya, ia adalah orang sempurna, yang  dapat juga mengendalikan seluruh tubuhnya (dikutib dari Alkitab Sabda).

Ini bukan melarang manusia untuk berbicara tetapi lebih menekankan pada keseimbangan, pengendalian diri maupun hikmat dalam berkata-kata. Perkataan menjadi standart dari penilaian terhadap seseorang. Dari perkataannya, seseorang bisa dikatakan sebagai orang yang tahu tata krama, orang yang berpendidikan, orang pasaran, orang yang saleh dan sebagainya. Namun tentu saja, komunikasi dengan lidah bisa dimanipulasi di dalam jerat kemunafikan.

Bukan hanya ketika berkomunikasi dengan sesama, bahkan dosa lidah pun mengintai ketika berkomunikasi dengan Allah. Pada satu moment seperti di dalam kebaktian Minggu, memuji Tuhan tetapi pada moment yang lain berbicara seperti keturunan Iblis (berdusta- Iblis adalah Bapamu, perseteruan, fitnah dan macam-macam keinginan daging yang berhubungan dengan lidah. Orang yang demikian sebenarnya menunjukkan ketiadaan relasi yang sesungguhnya dengan Tuhan (Yakobus 3:9-12)

Dengan lidah kita memuji Tuhan, Bapa kita; dan dengan lidah kita mengutuk manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidak boleh demikian terjadi. Adakah sumber memancarkan air tawar dan air pahit dari mata air yang sama? Saudara-saudaraku, adakah pohon ara dapat menghasilkan buah zaitun dan adakah pokok anggur dapat menghasilkan buah ara? Demikian juga mata air asin tidak dapat mengeluarkan air tawar (dikutip dari Alkitab Sabda).

Lidah yang demikian, menjadi racun yang mematikan, menghancurkan keseluruhan komunitas Kristiani (Yakobus 3:5-8). Membesar-besarkan hal yang seharusnya diselesaikan, termasuk memperguncingkan realitas hidup seseorang tanpa tujuan untuk berbagian di dalam pekerjaan Tuhan menyentuhnya - menjadi berkat bagi orang tersebut, merupakan racun yang mematikan.

Ironisnya, lidah terasa berat lidah untuk membicarakan hal yang baik, seperti mempercakapkan kebaikan seseorang (diantara banyak ketidakbaikan seseorang pasti terdapat kebaikan, karena bagaimana pun orang tersebut adalah gambar dan rupa Allah, meski sudah rusak). Menggunakan lidah untuk memberitakan kabar keselamatan kekal di dalam Kristus, seringkali tidak seseru menaruh "racun" (mengguncingkan) dalam hidup seseorang.

Penggunaan lidah yang tidak tepat tanpa hikmat, bukan menjadi penghiburan tetapi mendatangkan kutuk seperti apa yang terjadi pada teman-teman Ayub (Ayub 16:2-5).

"Hal seperti itu telah acap kali kudengar. Penghibur sialan kamu semua!  Belum habiskah omong kosong itu? Apa yang merangsang engkau untuk menyanggah?  Akupun dapat berbicara seperti kamu, sekiranya kamu pada tempatku; aku akan menggubah kata-kata indah terhadap kamu, dan menggeleng-gelengkan kepala atas kamu. Aku akan menguatkan hatimu  dengan mulut, dan tidak menahan bibirku mengatakan belas kasihan (dikutip dari Alkitab Sabda)

Mereka mencoba menghibur Ayub dengan banyak kata-kata, tetapi bukan menjadi berkat bagi Ayub, justru membuat Ayub marah dan mengatakan mereka penghibur sialan. Artinya, adalah jauh lebih baik jika mereka diam tidak berkata-kata.  Ayub tidak merasakan empati para sahabat; semua perkataan mereka menjadi omong kosong.

Gambaran Ayub dan sahabat-sahabatnya, terasa nyata di komunitas Kristen, bukan? Katakanlah para rohaniawan ketika menjumpai umat yang berada dalam posisi Ayub: kehilangan anak yang dikasihi, bangkrut (mungkin akibat pandemic covid- 19), kena penyakit akut dan sebagainya. Kebiasaan berkotbah seringkali terbawa di dalam menghibur jemaat yang terluka -- selalu berbicara hingga akhirnya kehilangan empati; kehilangan kepekaan untuk berbicara pada waktu yang tepat dan kata-kata yang tepat pula. Sehingga perkataan Ayub pada teman-temannya, "penghibur sialan" ditujukan kepada para rohaniwan yang demikian (meski mungkin tidak terucap keluar, tetapi tersimpan dihati).

Siapapun orangnya, baik orang dengan kepribadian melankolik atau flegmatik yang punya kecenderungan hemat berkata-kata; maupun Kolerik -Sanguin yang ekstrovert dengan kecenderungan banyak menggunakan kata-kata; semuanya perlu belajar mengendalikan lidah supaya tidak jatuh dalam dosa lidah. Mengendalikan lidah adalah bentuk spiritualitas yang niscaya diperlukan. Anugerah diperlukan untuk mengendalikannya - hikmat untuk mengendalikan lidah dari atas datangnya.

Mari meminta hikmat Tuhan, yang memberikannya dengan tidak hidtung-hitungan (Yakobus 1:5), supaya lidah kita bukan lidah yang berdosa -- lidah yang mendatangkan kutuk, melainkan lidah yang mendatangkan berkat -- menghadirkan Allah di dalam hidup sesama. Sehingga 'guru yang baik' diawal tulisan ini, bisa menggunakan lidahnya dengan tersenyum (bukan dengan hati yang hancur), menceritakan sang murid yang mengalami sentuhan kasih Tuhan lewat sikap hidup semua guru yang mendapat hikmat Tuhan mengendalikan lidah. Soli Deo.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun