Mohon tunggu...
Martha Weda
Martha Weda Mohon Tunggu... Freelancer - Mamanya si Ganteng

Nomine BEST In OPINION Kompasiana Awards 2022, 2023. Salah satu narasumber dalam "Kata Netizen" KompasTV, Juni 2021

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Melanjutkan Sekolah hingga Membangun Ruang Kelas untuk Mempersiapkan Masa Pensiun

14 September 2021   10:55 Diperbarui: 16 September 2021   02:01 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mempersiapkan pensiun (Sumber : Freepik.com/Jcomp)

Ayah saya mendedikasikan sebagian masa hidupnya sebagai seorang guru sekaligus Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Diangkat menjadi guru PNS pada usia 25 tahun, ayah mengabdi selama 35 tahun, kemudian pensiun pada usia 60 tahun. 

Menjadi guru bukanlah cita-cita awal ayah. Sebenarnya ayah begitu ingin menjadi seorang perancang bangunan atau arsitek.

Itu sebabnya, selepas SMP ayah mengambil pendidikan kejuruan, Jurusan Teknik Bangunan pada sebuah STM (Sekolah Teknik Menengah), sekarang setara SMK, di Kota Balige, Sumatera Utara.

Miinat belajar ayah pun sangat tinggi. Saking besarnya semangat untuk bersekolah, sejak SMP ayah nekat merantau jauh dari orangtua, hidup mandiri, demi bisa mengenyam pendidikan formal.

Hal ini dilakukan karena kampung ayah kala itu sangat terpencil. Sebuah desa di salah satu wilayah tepian Danau Toba, belum menyediakan fasilitas pendidikan setingkat SMP dan seterusnya.

Akan tetapi, mimpi ayah untuk menjadi arsitek terpaksa harus dikubur dalam-dalam. Ayah tidak bisa melanjutkan pendidikan teknik ke perguruan tinggi. Keterbatasan kemampuan finansial kedua orangtua ayah menjadi alasan utama. Tetapi ayah tidak patah semangat.

Bermodalkan ijazah STM, pada pertengahan tahun 60an, ayah mencoba peruntungan merantau ke Jakarta. Di Jakarta, ayah sempat turut mengambil bagian dalam pembangunan pusat perbelanjaan SARINAH di kawasan Thamrin. Ayah berperan sebagai juru gambar teknik saat itu.

Luntang-lantung selepas proyek Sarinah selesai, akhir tahun 60-an, oleh ajakan seorang teman, ayah merantau ke Kota Palembang. Di Kota Palembang ayah mendapat informasi bahwa sedang banyak dibutuhkan PNS untuk profesi guru di Provinsi Sumatera Selatan. Ayah pun tertarik.

Tetapi disarankan untuk tidak mendaftar di Kota Palembang. Ketika itu beredar rumor bahwa pendaftaran calon PNS (CPNS) di kota Palembang sarat dengan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Kemungkinan untuk diterima sebagai PNS sangat kecil bila tidak memiliki uang dan koneksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun