Mohon tunggu...
Martha Weda
Martha Weda Mohon Tunggu... Freelancer - Mamanya si Ganteng

Nomine BEST In OPINION Kompasiana Awards 2022, 2023. Salah satu narasumber dalam "Kata Netizen" KompasTV, Juni 2021

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sudah Siapkah Anak Anda Masuk SD?

10 Juli 2020   14:18 Diperbarui: 16 Juli 2020   21:30 1615
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak-anak (Sumber: Freeimages.com/Elias Minasi)

Durasi belajar 1,5 jam, akan terasa lama dan melelahkan bila ada Boy di kelas. Boy tidak betah duduk diam, tidak bisa konsentrasi dalam waktu lama dan selalu mengganggu anak-anak lainnya.  Sangat sulit mengajaknya untuk belajar. Suasana kelas akan kacau bila ada Boy. 

Saat teman-temannya serius mendengarkan pengajaran, Boy pun akan sibuk membuat kegaduhan. Jalan kesana kemari, mengajak ngobrol dan bermain teman-temannya. Boy pun sulit diminta untuk mengerjakan tugas-tugas dari sekolah. Belum ada rasa tanggungjawab dan rasa takut bila tidak mengerjakan tugas. 

Satu kali, di hari Minggu, ketika memberi tambahan les karena minggu besoknya ada Penilaian Tengah Semester, saya sampai harus meminta tolong suami untuk khusus mengawasi si Boy, agar proses belajar mengajar berjalan lancar. 

Saat anak-anak lain sudah lancar membaca dan menulis, si Boy masih tertatih-tatih, bahkan seringkali masih mengeja huruf demi huruf. Bagaimana bisa mengajarkan materi pelajaran di dalam buku, bila si anak sendiri masih belum lancar membaca. Bagaimana bisa mengerjakan tugas dengan mudah, bila si anak sendiri tiak paham dengan materi yang diajarkan, dan belum lancar menulis pula.

Sepertinya saat itu Boy memang belum siap dengan ritme belajar yang cepat dan materi pelajaran yang banyak. Seharusnya Boy mendapatkaan pelajaran-pelajaran yang ringan terlebih dulu. 

Beberapa waktu berinteraksi dengan Boy, saya melihat pada akhirnya Boy stres dan membenci kegiatan belajar, lalu melampiaskannya dengan marah dan menangis bila diajak belajar. Sayang sekali, padahal saya lihat sebenarnya Boy cukup pintar. Dalam rentang waktu konsentrasi Boy yang sangat sedikit, Boy mampu mengerjakan beberapa soal dengan baik. Tapi ya begitu, hanya mampu berkonsentrasi beberapa menit. Setelah itu, kembali Boy ingin bermain.

Saya pun akhirnya menyerah. Saya tidak mungkin mengorbankan anak-anak yang lain. Saya pun terpaksa menyarankan orang tuanya untuk mencari guru privat saja.

Sebenarnya saya ingin menyarankan mereka untuk berkonsultasi dengan psikolog anak. Namun kemudian saya memutuskan untuk tidak terlalu jauh masuk dalam pola didik mereka.

Belum tentu pula mereka bisa menerima saran saya dengan baik. Karena masih banyak awam yang memberi stigma negatif pada anak yang dibawa ke psikolog.

Di waktu-waktu berikutnya saya mendengar bagaimana si Boy keluar masuk berbagai Bimbingan Belajar. Bahkan orang tuanya sempat membayar guru privat, namun guru privat pun akhirnya menyerah juga.

Bikin susah sendiri? Iya. Ini akibatnya terlalu memaksakan keinginan tanpa melihat usia dan kemampuan anak. Bukankah lelah sendiri harus bolak-balik memasukkan anak ke berbagai bimbingan belajar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun