Mohon tunggu...
Ben Subchan
Ben Subchan Mohon Tunggu... Penulis - Waktu dapat merubah apa saja, termasuk diri kita

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bungkus Sendiri Sejahteranya

1 Mei 2020   10:32 Diperbarui: 1 Mei 2020   12:21 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ingat teriakan Bung Tomo, "Merdeka atau Mati"!! Kala itu berkobar semangat juang melawan Belanda yang luar biasa, Tepatnya Surabaya kala itu. Bagi rakyat, Apa itu rasa takut? Matipun tidak mereka kenali. Takut hanya semangat, mati hanya tergeletak. Selayak itulah gambarannya, karena kegigihan, senjata lengkap dilawan dengan bambu runcing. Mungkin "tidak waras" dianggap saat ini. 

Derita apa yang tidak, kelaparan itu biasa. Keluhan mereka hanya sampai pada ruang hampa tak terdengar, di rongga tenggorokan. Mereka kurus kering, tinggal kulit pembungkus tulang. Mereka ikhlas saja, memang saat itu mereka senasib, satu harap yaitu "merdeka".

Adalah mereka kaum pelajar, yang menjadi poros perjuangan. Didengar dan dituruti, memang saat itu terpelajar adalah teladan, dengan ilmu dan kewibawaan, mereka diikuti meniti liku perjuangan. Terpelajar itulah yang menjadi negarawan, meletakkan dasar dan pondasi negara dalam bingkai yang satu dan cita-cita negara kesejahteraan (walfare state).

Sekarang beda cerita, negara sudah merdeka. Ingat pidato Bung Karno "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri". Apa yang anda rasakan hari ini. Bung Karno terbukti benar, bukan??...

Banyak amnesia, lupa perjuangan. Teriakan Bung Tomo sudah tidak ada lagi, kata-kata Bung Karno hanya terpampang pada pigura mati. Pelajar, hanya belajar saat ini, mereka tidak lagi sibuk pada pergerakan, tidak masuk pada diskursus untuk membangun konsep dan peradaban. Pelajar itu juga susah hari ini, mereka dalam dilema. Kritis bisa di-Drop-Out-kan.  

Perjuangan sekarang adalah mengisi perut, perut yang selalu lapar meskipun sudah punya banyak kepunyaan. Yang miskin malah merasa kaya, karena setiap butir nasi yang disuap terasa berkahnya. Si miskin masih bisa tersenyum, meskipun raut wajahnya didera letih meronta. Mereka bekerja serius, dengan upah becanda. Anda yang becanda, dengan upah serius, meskinya sedikit menjaga mimpi mereka.

Paradoks kita, negeri kaya dengan masyarakat miskin. Ingat lagi kata Bung Karno " Kita tidak bodoh, tapi dibodohkan. Kita tidak miskin, tapi dimiskinkan oleh sebuah sistem". Sulit kita temukan negarawan hari ini, kecuali mereka yang hartawan. Ada juga dermawan, memberi barang menggunakan kantong bertulis namanya dengan huruf besar dan bold tebal. Hidup juga dianggap permainan. Mem-parodi-kan kemiskinan menjadi tingkah latah yang menjijikan.

Entahlah kawan... mungkin hari ini ulang tahun perjuangan. Mungkin juga sebagian kau lupa, karena sibuk menata nasib keseharian. Setidaknya kau adalah pahlawan untuk keluargamu. Saat matamu menatap nanar kemewahan itu, yang tergambar adalah rasa canggungmu. Dan.. Jangan harap mereka akan mengerti mimpimu.... Mungkin rasa senasib dan sepenanggungan itu berada jauh dari zaman ini, adanya hanya di masa kolonial dulu.  Bung Tomo, Bung Karno dan Bung-bung lainnya telah tiada, sekarang "Bung-kus" saja sendiri cita-cita kesejahteraan itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun